Waktu itu hanya bisa menjawab. Jadi jika kita mempunyai masalah, jangan pasrahkan pada waktu. Karena waktu hanya bisa menjawab. Tidak untuk menyelesaikan.
***
Langit kembali gelap. Lia menyeruput pelan teh hijau buatan ibunya. Lia menyipitkan matanya. Rasa dari teh hijau ini baginya pahit. Karena memang teh hijau tidak ada yang memanjakan lidah, bukan?
Lia menaruh cangkir putih yang bercorak disisinya itu, di meja yang berada di sampingnya. Kini Lia berada di balkon kamarnya. Lia kembali teringat Alvin. Sesosok laki-laki yang mampu mengubah dunianya hanya dalam hitungan detik. Lia kembali ragu akan perasaanya sama Alvin.
Lia kembali teringat dimana ia dan Alvin menjadi kekasih sewaktu mereka masih SMP.
»º«
Suasana beberapa tahun yang lalu di sekolah mereka. Lia duduk di bangku taman sekolah. Terlihat banyak murid-murid yang berada disana. Kini sedang jam istirahat. Lia menggigit roti yang dibawakan oleh ibunya.
Ia melihat ke sisi kiri. Ada Ati dan Putra yang sedang berduaan, mereka tampak serasi. Terkadang Lia ingin seperti mereka. Ia melemparkan pandangannya ke sisi kanan tepatnya kearah lapangan basket. Banyak yang ikut berpartisipasi mendukung salah satu diantara mereka. Cukup riuh.
Lalu Lia memandang kearah depan. Terlihat pohon besar yang gagah dan rindang yang dikelilingi oleh bermacam-macam jenis dan warna bunga yang terlihat sangat segar. Suasana itu menambah suasana tenang, dan damai jika berada di sekitarnya.
Lia menggigit lagi rotinya. Lalu ia merasakan tepukan pelan di bahu kanannya. Lia menoleh. Terdapat Alvin di sana yang tengah tersenyum manis padanya. Lia balas tersenyum. Lalu Alvin duduk disamping Lia.
“Gimana kalungnya? Suka?” tanya Alvin.
Lia menujukan ingatannya ke hari rabu lalu dimana Alvin memberikan kalung berbandul kupu-kupu.
“Iya, suka.” Kata Lia.
“Kalau suka, kenapa gak dipake aja sekarang?” tanya Alvin penuh selidik. Lia terkekeh kecil.
“Kamu lupa peraturan disekolah kita? Dimana murid tidak dibolehkan memakai aksesoris yang berlebihan!” elak Lia. Alvin terkikik.
“Bahasamu!” ejek Alvin.
Tanpa disadari, bel yang menandakan bahwa istirahat telah selesai kembali terdengar. Semua siswa kembali ke kelas masing-masing melanjutkan kegiatan mereka.
»º«
Hari itu, tepatnya hari senin, Lia melihat-lihat buku diperpustakaan. Pandangannya tertarik pada sebuah buku yang bersampul biru langit. Lia ingin meraihnya, namun tidak sampai. Tapi untunglah ada seorang yang baik hati yang mau membantu Lia mengambil buku itu.
Lia berharap itu Alvin. Namun ternyata...
“Thanks,” ujar Lia ramah. Pemuda itu tersenyum.
“Urwel,” jawab pemuda itu tersenyum manis.
Terbesit rasa kagum dihati Lia pada pemuda itu yang ternyata adalah Putra, yang pasalnya adalah kekasih dari sahabatnya—Ati—.
‘Lia, dia pacar sahabatmu!’ keluh Lia dalam hati.
»º«
Sampai rumah, Lia membanting pelan tubuhnya dikasurnya. Ia memandang langit-langit kamarnya.
“Kok aku jadi kepikiran Putra, sih? Diakan Cuma temanku,” keluh Lia.
“Alvin juga sih tadi gak masuk. Kenapa sih dia?” keluh Lia lagi. Ia meraih telepon genggamnya. Tidak ada pesan masuk ataupun panggilan tak terjawab. Ia hanya bisa mengeluh.
»º«
Lia dan keluarga memutuskan untuk makan malam di restoran saja. Karena ibunya tidak sempat memasak. Lia meminta izin kepada ayah dan ibunya untuk ke toilet sebentar. Saat ingin masuk kedalam toilet, ia menabrak sesosok pemuda. Saat ia menoleh kearah pemuda tersebut, keduanya terkejut.
“Lia?” tanya lelaki tadi heran.
“Putra?” balas Lia kepada lelaki—Putra—itu.
“Ngapain disini, Li?” tanya Putra.
Lia tersenyum. Terbesit rasa kagum itu di benaknya. Oh God!
“Eng, ya makan dong! Masa beli odol?” jawaban konyol mulus keluar dari mulut mungil Lia. Bodoh Lia! Batinnya.
“Haha, yasudah. Aku masuk dulu, ya?” izin Putra lalu masuk kedalam toilet pria.
Lia ikut masuk kedalam toilet wanita. Jantung Lia berdegup kencang.
Hanya satu di dalam benaknya, Putra dan Alvin.
‘Ya ampun Tuhan. Mengapa aku menyukai Putra? Padahal aku punya Alvin!’
»º«
Alvin menatap bintang-bintang yang bertebaran abstrak dilangit malam. Ia kembali merenungkan sikapnya yang baginya sangat merugikan dirinya sendiri. Alvin mengacak-acak rambutnya yang sudah mulai memanjang. Ia rindu Lia. Yang ia inginkan hanya Lia.
Ia kembali bingung. Mengapa ia tega melakukan hal bodoh yang menyakiti hati Lia. Ia menerima tawaran ayahnya yang akan memberangkatkan ia ke Kalimantan dan melanjutkan pendidikannya disana.
Dia refleks mengangguk tadi. Karena tak konsenterasi mengkuti arah pembicaraan ayahnya. Mau membatalkan, tapi gak enak.
Alvin bingung.
»º«
Langkah Lia kembali terdengar hingga ujung koridor sekolah. Ia telat pagi ini. Kini Lia ada didalam kelasnya. Lia menoleh kearah bangku yang biasa Alvin tempati. Kosong.
Lia kembali menatap depan. Ia bingung dengan sifat Alvin akhir-akhir ini. Lalu Lia memandang kearah tempat Putra. Terlihat Putra tengah tersenyum kearahnya. Lia membalas senyumnya. Lalu Lia melemparkan pandangan kearah Ati—pacar Putra—, yang tengah memandangnya garang.
»º«
Hari ini, terutama pagi ini, Alvin sudah datang. Lia sangat puas. Lalu ia menghampiri Alvin. “Kemana kamu akhir-akhir ini, Vin?” tanya Lia dengan senyum ramahnya. Terjadi keheningan sejenak. Lalu Alvin berdiri dari tempat duduknya.
“Bukan urusan lo!” bentak Alvin lalu keluar dari kelasnya. Lia heran. Apa Alvin tahu bahwa ia memiliki rasa pada Putra? Ah tidak mungkin! Lia saja belum tahu pasti dengan perasaanya. Masa Alvin sudah marah? Mustahil! Jadi, apa?
»º«
Sudah berapa helai rambut rontok dari kepalanya. Dikarenakan Alvin selalu menjambak rambutnya. Ia menyesal telah membentak Lia. Ia tahu maksud Lia tadi baik. Ia sangat menyesal!
»º«
Sudah seminggu ini Alvin sering membentak Lia. Lia selalu menangis di kamarnya. Keputusannya sudah bulat akan memutuskan Alvin, walau Cuma sepihak. Lalu, setelah Lia memutuskan hubungannya dengan Alvin, Alvin pergi tak ada kabar, tak ada kata maaf dari mulut Alvin. Padahal ternyata Alvin pindah ke Kalimantan. Tetapi ia—Lia— tak tahu kabar kepindahan itu sampai sekarang.
»º«
Lia kembali ke masa sekarang. Masa dimana ia sudah beranjak dewasa. Ia hanya bisa berharap kalau, perasaannya ke Putra segera musnah. Dan hubungannya dengan Ati segera membaik. Lia menarik nafas, lalu kembali menatap bintang dilangit dari arah balkon kamarnya, lalu kembali menyeruput teh hijaunya.
To be continued..
Clock
facebook site..
the story...
Popular Posts
linkwinklink!
Jumat, November 25, 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar