”SEPERTINYA, ini alamat yang Ibu cari.”
Fika menoleh ke arah sopir taksi. Menatapnya sesaat, lalu mengalihkan pandangannya mengikuti arah pandang lelaki muda itu. Matanya menangkap nomor rumah yang tertempel pada kotak pos di pagar. Nomor 42A. ”Iya, Pak. Benar.” Fika mengeluarkan dompet dari dalam tas tangannya, melirik argo, lalu menyerahkan sejumlah uang. ”Ambil saja kembaliannya, Pak.”
Tanpa membalas ucapan terima kasih sopir taksi, Fika membuka pintu, lalu melompat keluar. Dengan langkah panjang-panjang, ia menghampiri pagar besi setinggi dada dan berusaha membuka pintunya. Terkunci. Dengan cepat, Fika menyapukan pandangan untuk mencari bel rumah. Tatapan matanya tertumbuk pada benda kecil yang menempel pada tembok pagar. Fika menekannya dengan ujung jari, lalu menunggu...
Sepi. Tidak ada tanda-randa kehidupan di dalam rumah.
Fika melirik jam tangannya dengan gelisah. Steve–bosnya–mengatakan, kliennya akan menemuinya di tempat ini pukul 12.30. Ia hanya terlambat
Seharusnya ia sudah menduga hal seperti ini akan terjadi begitu bosnya memberi tahu siapa kliennya–Lisa, bintang film dan artis sinetron ibu
Fika merogoh tas tangannya, mengeluarkan ponsel. Setelah menemukan nama kliennya pada phonebook, ia men-dial-nya.
“Halo...?”
Kening Fika berkerut begitu mendengar suara berat dan dalam seorang lelaki menyapa. Bukankah menurut bosnya, nomor telepon ini milik Lisa? Atau, lelaki ini manager artis itu. Bukankah semua artis memiliki manager? “Selamat sore, Pak. Saya interior designer D'Zire. Saya...”
“Oh, maaf, maaf,” potong lelaki itu segera. “Saya mendadak ada urusan penting, jadi agak terlambat meninggalkan kantor. Tapi jangan khawatir, saya sudah di jalan. Kira-kira
Fika memutar bola matanya, kesal. “Baik, Pak. Saya tunggu.”
Fika memasukkan kembali ponselnya ke tas tangan, lalu menyapukan pandangan ke sekeliling. Apa yang harus dilakukannya untuk mengisi waktu? Setelah termenung sesaat, ia memutuskan untuk melihat-lihat bagian luar rumah kliennya.
Fika menelusuri trotoar, mengikuti pagar rumah yang terletak di hook itu. Matanya mengamati bentuk geometris bangunannya dari balik pagar besi. Secara estetika, rumah dua lantai ini terlihat atraktif. Apalagi didukung dengan wajah rumah yang bisa dipandang dari dua sisi jalan. Tampil dengan
Fika menghampiri pohon sawo besar, berlindung dari sengatan sinar matahari di bawahnya. Ia meletakkan tas kerjanyadi sela-sela akar pohon yang bertonjolan, llau menyandarkan punggungnya. Digerak-gerakkan kakinya bergantian, mencoba melemaskan otot-ototnya yang terasa kaku akibat terlalu banyak berdiri. Dalam hati ia menyesali pilihan busananya hari ini–kemeja putih bergaris abu-abu, dan rok pencil abu-abu. Kalau saja ia mengenakan celana panjang, mungkin ia dapat duduk dengan nyaman di rumput.
Deru mobil yang tertangkap oleh telinganya, membuat Fika menoleh. Sebuah Z4 Roadster silver mendekat. Harapannya tumbuh saat melihat mobil itu memperlambat lajunya. Begitu mobil itu berbelok ke jalan masuk rumah dan berhenti, Fika menghela napas lega. Akhirnya, kliennya datang juga–keningnya berkerut–atau hanya manager-nya? Sepertinya, ia hanya melihat bayangan satu orang di dalam mobilitu. Yah, tak mengapalah. Mungkin, manager Lisa memang tahu pasti apa yang diinginkan oleh perempuan itu.
Fika segera menyambar tas kerjanya dan menghampiri mobil anggun tersebut. Pintu mobil terbuka dan seorang laki-laki berkacamata turn. Langkah kaki Fika terhenti seketika. Tubuhnya membeku, dan jantungnya seakan berhenti berdetak. Ia menatap lelaki itu dengan mata terbelalak lebar dan mulut setengah terbuka. Tak mungkin! Ini tidak mungkin! Tidak mungkin lelaki itu!
Lelaki itu balas menatap Fika dari balik kacamata tanpa bingkainya. Matanya nanar. Selama beberapa saat mereka hanya saling memandang, tanpa bias berkata-kata. Fika memejamkan matanya sesaat, berharap bayangan lelaki itu segera menghilang. Berharap semua ini hanya ilusi. Namun, saat ia kembali membuka mata, sosok itu masih ada di hadapannya. Masih menatapnya dengan pandangan kosong. Napasnya tercekat di tenggorok. Tidak! Ini tidak mungkin! Yang berdiri di hadapannya, pasti bukan lelaki itu.
Lelaki dari masa lalunya.
Pasti hanya sekadar mirip, Fika menghibur diri. Kemiripan yang, kalian bias tambahkan, nyaris sempurna; garis rahang yang tegas, dagu yang kokoh, hidung yang tak mancung, bibir tipis yang maskulin, serta sepasang alis tebal yang menaungi matanya yang memicing. Ya Tuhan. Semuanya begitu mirip. Fika enyipitkan matanya, ingin melihat warna mata lelaki itu. Namun, jarak membuatnya tak dapat melihat dengan jelas. Dalam hati Fika berharap lelaki ini tidak memiliki warna mata yang sama dengan lelaki yang dikenalnya. Fika melanjutkan pengamatannya. Bahkan rambut bergelombangnya yang berwarna cokelat gelap begitu mirip. Tetapi lelaki ini lebih tinggi, lebih berisi. Bahunya lebih lebar dan kokoh, dengan dada bidang yang tidak bias disembunyikan oleh kemeja tosca yang dikenakannya. Tidak. Ia pasti salah. Lelaki ini hanya mirip dengan Adit. Lagi pula lelaki ini memiliki kedewasaan dan karisma yang tidak dimiliki Adit. Ditambah lagi, lelaki ini berkacamata–yah, walaupun hal terakhir ini terasa tidk cukup relevan.
Tanpa melepaskan pandangannya dari Fika, lelaki itu memperbaiki letak kacamatanya. “Fika…?”
Ucapan yang keluar dari mulut lelaki itu bagai gelegar halilintar di telinga Fika. Membuat wajahnya pucat pasi seketika. Tubuhnya gemetar. Kalau lelaki ini bukan lelaki yangdikenalnya, bagaimana ia bisa mengetahui namanya? Mungkinkah Steve yang memberi tahu? Fika membasahi tenggoroknya yang terasa kering, ia lalu berusaha menggerakkan lidahnya dengan susah payah. “A…Adit?” tanyanya ragu. Menduga-duga.
0 komentar:
Posting Komentar