Waktu itu hanya bisa menjawab. Ketika sudah menjawab maka waktu tidak akan memberikan kesempatan lagi yang akan menjadi penghapusan kesalahan. –Author
***
[ Author P.O.V ]
Bangunan berwarna broken white tersebut terlihat paling ramai di antara bangunan lain di sekitarnya. Di halamannya yang luas terparkir beberapa motor berbagai bentuk dan warna, dari Cagiva sampai Vespa, dari yang masih mengkilap sampai yang warnanya memudar. Namun suasana yang jelas ramai adalah di dalam bangunan yang disebut sebagai ‘villa’ oleh pemiliknya. Muda-mudi dalam balutan busana beraneka warna tampak di sudut ataupun tengah ruangan.
“Ih.. kurusan ya sekarang..”
“Apa kabar? Lama nggak ketemu..”
“Kapan-kapan main PS bareng lagi, yuk? Hahaha..”
“Sekarang kamu sekolah di mana, sih?”
“Keren! Bener kamu Satria yang kutu buku dulu?”
“Udah putus sama Nona? Wah hebat..”
Yah, itulah sebagian dari perbincangan para muda-mudi tersebut. Saat ini mereka sedang melakukan kegiatan yang disebut sebagai ‘reuni’. Yaps. Bertemu dengan teman lama setelah sekian waktu tak bertemu. Namun ada satu gadis yang duduk terdiam di salah satu sofa empuk. Gadis berpakaian dress putih dengan make up natural dan rambut panjang terurai hanya menimang clutch Chanel miliknya yang berwarna putih pula. Sepertinya ia lelah berdiri di atas stiletto putihnya.
“Li! Waw kamu sekarang cantik banget..” Seorang gadis berbalut dress biru navy datang menghampiri Lia bersama pemuda berpakaian tuxedo hitam. Sangat serasi.
Lia mendongak menatap sosok yang menyapanya, lalu tersenyum simpul. “Makasih, Ta. Kamu juga cantik, masih langgeng ya sama Wildan..”
Dita tersenyum lebar. “Iya dong.. kami kan tak terpisahkan, hihi..”
Lia tersenyum tipis. Kalau saja kisahnya mirip Dita, pasti sekarang ia tidak akan sebosan ini. Ah? Apakah pemuda itu akan datang malam ini? Apakah ia akan datang bersama teman-temannya? Astaga! Apa yang Lia pikirkan? Kenapa di saat seperti ini ia teringat dengan…
“Lia?”
Seakan tubuhnya sudah hafal dengan suara lembut tersebut, Lia menoleh. Lima detik kemudian dia hanya bisa melongo, menatap sosok yang berdiri di sebelahnya.
…Alvin?
“Bener Lia, kan?” Pemuda itu menatap aneh ke arah Lia. Lia langsung mengangguk cepat.
“Iya, bener kok. Alvin, kan?” Lia berusaha agar suaranya terdengar biasa, tidak gugup.
Alvin tersenyum. “Iya..” Tanpa permisi Alvin duduk di sebelah Lia. Wangi Ralph Lauren Polo langsung tercium oleh Lia. Ah, rupanya pemuda ini masih saja suka dengan parfum-parfum branded, hanya berganti merk.
Meja panjang yang tertutup kain berwarna krem terlihat sangat penuh. Ya, tentu saja. Karena itu meja makan. Berbagai makanan tersedia di sana. Ada rendang, dendeng, bahkan cwie mie Malang (makanan khas Malang) sampai bakso. Minumanpun juga lengkap. Dari Es Durian sampai STMJ (Susu Telur Madu Jahe –sejenis jamu-). Yah tentu saja di cuaca dingin seperti ini yang paling laris adalah Wedang Ronde.
"Jadi kamu, Ti, yang minta Alvin buat nemuin Lia?" tanya seorang gadis berjepit kupu-kupu sebesar telapak tangan kepada gadis bergaun hitam di hadapannya.
Ati mengangguk. "Iya, aku kasihan aja sama Lia, dia kayaknya kangen banget sama Alvin.." jawab Ati sambil menyeruput wedang rondenya.
"Tapi entar kalau Lia galau lagi gimana?" tanya Kiran lagi.
"Err.. iya, sih. Tapi paling nggak kan dia seneng dulu, hihihi.."
Kiran memutar bola matanya. "Dasar.."
Sementara itu yang mereka bicarakan tampak menunduk, tak berani menatap pemuda tampan di sampingnya. Suasana kaku terpancar jelas di antara mereka. Entah apa yang dipikirkan keduanya.
Menurut Lia, Alvin tampak sangat tampan malam ini. Oh Tuhan, kapan Alvin terlihat 'jelek'? Bukankah pemuda itu selalu tampan? Yah, setidaknya itu menurut Lia. Mungkinkah karena faktor lamanya mereka tidak bertemu? Mungkin saja. Bukankah penampilan seseorang akan terlihat berbeda jika lama tidak bertemu?
"Kamu sekarang di SMA 2 ya, Li?" Alvin bersuara, mencoba membuat suasana lebih cair.
"Hah?" Lia menoleh pada pemuda berkulit putih tersebut. "Iya, kenapa?"
"Nggak kenapa-kenapa, nanya aja."
Dan suasana kembali kaku sampai acara malam itu selesai.
***
Masa lalu menyimpan kenangan yang beberapa di antaranya manis dan pahit. Berusaha keras melupakan kenangan pahit itu sulit. Apalagi kalau seseorang datang dan kembali mengingatkan pada kenangan pahit itu.
Itulah yang dialami Lia. Gadis belia berusia enam belas tahun tersebut kembali galau saat mengingat pertemuannya dengan pemuda-penoreh-luka-hatinya semalam. Siapa lagi kalau bukan Alvin?
Masih dalam keadaan super galau, Lia menginjakkan kaki di tanah sekolahnya, SMA 2 Malang. Setelah menghela nafas panjang, Lia berjalan menuju kelasnya, XI IPA 2.
"Li! Lia..!" Seseorang berteriak memanggil namanya. Lia menoleh ke sumber suara, ternyata Ati sedang berlari-lari ke arahnya.
"Kenapa, Ti?" tanya Lia setelah Ati berhasil menjejerinya.
Gadis cantik bernama Ati itu masih terlihat mengatur nafasnya yang satu-dua. "Bareng dong, hehehe.."
Lia tersenyum tipis. "Ya ayo aja.." Kedua gadis itu berjalan beriringan menuju kelas.
"Eh iya, Li, kamu semalam ketemu Alvin, kan?" tanya Ati.
Lia sedikit terkejut mendengar Ati menyebutkan nama Alvin. Akhirnya Lia hanya mengangguk pelan, amat pelan.
"Trus, gimana? Ngobrol, kan?" tanya Ati lagi.
Lia menarik nafas panjang. "Iya, ngobrol, kok.." ..tapi bentar, lanjut Lia dalam hati.
"Oh syukurlah, jadi si Alvin nggak mubazir aku undang ke reuni semalam, hihi.."
Mendengar pernyataan itu seketika membuat Lia menoleh. "Kamu yang ngundang Alvin?"
"Iya, dia kan anak SMP kita juga, jadi wajarlah kalau aku undang.."
Benar juga, pikir Lia. Lia pun tak bertanya tentang Alvin lagi. Membahas Alvin sama saja menabur garam sedikit demi sedikit pada luka hatinya. Membuatnya semakin perih.
***
[ Lia P.O.V ]
Tampaknya aku harus ke perpustakaan umum hari ini. Aku bosan hari Minggu di rumah tanpa melakukan apapun. Kurasa mencari novel di perpustakaan akan sedikit memberiku kegiatan. Akhirnya setelah berpamitan dengan ayah dan bunda, aku menghampiri motor matik biruku dan meluncur ke perpustakaan.
Sesampainya di perpustakaan sebenarnya aku masih bingung harus mencari novel apa. Ya karena ini benar-benar di luar rencana. Akhirnya aku langsung saja menuju rak-rak yang menyediakan novel.
Hei, ada yang baru. City of Bones karya Cassandra Clare sepertinya menarik. Tapi.. kenapa tempatnya terlalu tinggi? Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hening. Tak ada tangga apalagi orang lain. Lalu bagaimana aku mengambil novel itu?
Namun tiba-tiba ada tangan terjulur dari belakangku. Wangi Ralph Lauren Polo menusuk hidungku. Sebentar, sepertinya wangi ini tidak asing. Apalagi bercampur wangi maskulin alami mirip.. Alvin?
“Mau ambil ini, Li?”
Seketika aku menoleh ke belakang. Oh Tuhan, kenapa aku harus bertemu dengannya di sini? Saat ini?
“Lia? Kok bengong, sih?”
Aku menggelengkan kepalaku pelan. “Oh, sori, Vin.. Iya aku mau ambil itu tadi..”
“Noprob, ya udah nih..” Alvin menyodorkan novel setebal kira-kira lima ratus halaman lebih, mungkin setebal Harry Potter, atau lebih tipis seperti The Host? Entahlah, menurutku lebih tebal dari The Host. Aku pun menerima novel bersampul hijau-hitam tersebut.
“Thanks, Vin..”
Alvin tersenyum. Oh dear, senyumnya sangat menawan. Senyum itu senyum yang sangat kurindukan. Lagi-lagi aku terpaku menatap Alvin. Ketampanannya seolah menghipnotisku untuk terus menatapnya.
“Li? Kamu baik-baik aja, kan? Kok diam, sih?”
Dan suaranya bagai seruan untuk menyadarkanku dari hipnotis tersebut.
“Oh, sori, Vin..” Lagi-lagi kata maaf yang keluar. Aku benar-enar tidak tahu harus berkata apa saat berhadapan dengannya.
“Ya ampun, Lia.. Kamu hobi banget ya minta maaf? Hehehe..”
Aku hanya tersenyum simpul mendengar candaannya tersebut.
“Eh iya, Li, abis ini kamu ada acara, nggak?”
Aku mengangkat sebelah alisku. “Acara? Kayaknya enggak, deh. Kenapa emang?”
“Umm.. ikut aku, yuk?”
“Ke mana?”
“CafĂ©, beli cake, ya?”
Cake? Astaga, kenapa Alvin mengajakku ke tempat yang menyediakan menu seperti itu? Apa dia sedang mencoba memancing perasaanku? Apa dia sedang berusaha memberi harapan kepadaku? Harapan yang seharusnya tak diberikannya sejak dulu. Namun tak bisa kupungkiri, sepercik harapan muncul di relung hatiku.
“Diam berarti iya. Yuk!” Tanpa persetujuanku, Alvin menarik tanganku lalu meletakkan novel yang kubawa di meja resepsionis supaya petugas itu mencatat kalau novel itu kusewa.
Setelah semua urusan di perpustakaan selesai, kami berdua keluar dari tempat itu.
“Kamu bawa motor sendiri ya, Li?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Iya, kenapa?”
“Yah kalau gitu kamu ikutin aku dari belakang aja, ya? Jangan kabur loh.” Alvin mengacak rambutku. Sial, kenapa dia kembali melakukan hal itu? Hal yang membuat percikan harapan itu semakin membesar.
***
“Cheese Cake satu, Chocolate Cake satu, Earlgrey Tea satu, Cappuccino Latte dua ya, Mbak. Oh iya, lattenya yang satu polosan aja, yang satu artnya gambar hati, ya?”
Dengan lihai Alvin memesan menu. Mbak-mbak pelayan terlihat kelimpungan mencatat pesanan Alvin. Namun setelah Alvin meluncurkan senyum andalannya, Mbak Pelayan itu seakan tersetrum dan kembali bersemangat.
“Baik, mohon tunggu sebentar..”
Sepeninggal pelayan, aku menatap Alvin.
“Kenapa, Li? Kok ngeliatin aku segitunya?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Nggak apa-apa, kok.”
“Eh iya, kamu masih suka cake coklat, kan?”
“Iya, masih kok.. mana mungkin aku jadi nggak suka sama cake itu?” jawabku sambil tersenyum. Ya, bagaimana mungkin aku lupa dengan cake-sejuta-kenangan itu? Cake yang menghubungkan aku denganmu, Alvin?
“Syukurlah.. Jadi keinget waktu kamu ngambek, tinggal nyodorin cake coklat aja pasti kamu nggak ngambek lagi, iya kan?”
Aku kembali tersenyum. Iya, Alvin. Kamu tahu nggak kenapa aku selalu berhenti ngambek kalau kamu memberiku cake itu? Karena cake coklat mirip denganmu. Sedikit saja mencoba, pasti akan ketagihan, sulit untuk melupakan rasanya. Mirip denganmu, tahukah kamu kalau –sampai saat ini- aku masih belum bisa melupakan kenangan kita? Baik yang pahit maupun yang manis, seperti rasa coklat.
Karena terus membayangkan semua kenangan indah antara aku dan Alvin, sampai-sampai aku tak sadar kalau pesanan kami datang.
“Li? Kok aku jadi khawatir ya sama kamu?”
Aku kembali tersadar. “Loh? Kenapa?”
“Abis kamu diem mulu, kamu sakit?”
Vin, kenapa kamu –kembali- begitu perhatian padaku? Tidak, kumohon jangan memberiku harapan kalau pada akhirnya kau kembali mengosongkan harapanku.
“Nggak kok, aku nggak apa-apa..” jawabku lalu memotong cake berbentuk segitga sama kaki tersebut. “Eh iya, kamu kenapa pesen cappuccino dua? Kamu udah cukup teh aja, kan? Masa kamu nyuruh aku minum dua cangkir cappuccino?”
Alvin tertawa renyah. Ah, sudah lama aku tak melihatnya tertawa seperti ini. “Kamu lucu deh, Li.. Tapi emang bener itu buat kamu dua-duanya..”
Aku mengangkat alis heran. “Serius, Vin?”
Alvin mengangguk yakin.
“Kamu pikir aku gentong, apa? Masa suruh minum dua cangkir?”
“Ih, makanya dengerin dulu kalau orang ngomong..”
“Kamu nggak buruan ngomong sih..” potongku cepat, lalu nyengir.
Alvin tampak mendesah. “Tuh aku mau ngomong tapi kamu potong gitu aja.”
“Eh, sori, Vin..”
Tiba-tiba Alvin terkekeh. “Ya ampun, Lia.. Kamu beneran hobi minta maaf, ya? Hihihi..”
“Ih, biarin, weeekk..” Aku menjulurkan lidahku, sedikit meledeknya.
“Hahaha iya iya deh.. Aku minta kamu pilih satu di antara cappuccino itu, tapi nggak boleh asal pilih, harus benar-benar dari dalam hati kamu..”
Aku kembali heran. “Maksudnya?”
“Kamu dengerin dulu pertanyaanku, terus kamu jawab dengan cara milih di antara dua cappuccino itu.”
Hei, sepertinya aku tahu ke mana arah pembicaraan Alvin. Mungkinkah ia memintaku untuk kembali menjadi kekasihnya? Jujur, aku berharap demikian. Tapi kalau tidak? Sepertinya aku harus benar-benar berusaha melupakan Alvin.
“Pertanyaannya..” Alvin meraih tanganku dan menggenggamnya. Jantungku berdebar cepat, terasa sekali efek euphoria tersebut. “..kamu mau nggak jadi pacarku lagi?”
Benar, bukan? Aku ternganga mendengar pertanyaan Alvin. Walaupun perkiraanku benar, tapi aku belum menyiapkan jawaban untuk pertanyaan semacam ini. Lagipula, aku belum yakin dengan Alvin. Tanpa pendekatan atau apapun tiba-tiba dia datang dan memintaku untuk menjadi kekasihnya lagi.
“Kamu ragu, Li?” Sepertinya Alvin dapat membaca pikiranku. Aku pun mengangguk lemah.
Alvin menark nafas perlahan, tangannya masih menggenggam tanganku. “Aku serius, Li. Bukannya dulu kamu mutusin aku secara sepihak? Jujur, Li, aku masih sayang sama kamu. Sebenarnya aku nggak rela ngelepasin kamu waktu itu. Tapi melihat kamu terluka gara-gara aku, aku jadi sadar, mungkin memang lebih baik kalau kita berpisah. Dan kamu tahu, Li? Waktu melihat kamu di pesta itu, aku jadi berpikir kalau aku benar-benar nggak rela kalau kita berpisah. Aku ingin memperbaiki semuanya, supaya nggak kayak dulu lagi..”
Aku tertegun mendengar pernyataan Alvin. Aku benar-benar tidak menyangka kalau dia masih menyimpan perasaan terhadapku. Aku fikir, dia pasti melupakanku.
“Kalau kamu mau, kamu pilih yang ada gambar hatinya, kalau kamu nggak mau, pilih yang polos aja, ya?” lanjutnya.
Aku menatap kedua cangkir cappuccino tersebut. Bingung. Mana yang harus aku pilih?
“Pilih, Li. Aku sayang kamu..” Alvin melepaskan genggaman tangannya. Aku tersenyum. Dengan yakin aku meraih cappuccino berhati dan menyeruputnya perlahan.
“Tentu kamu udah tahu jawabanku, kan?” tanyaku sambil tersenyum.
Alvin tersenyum lebar. Sangat terlihat jelas ia bahagia. “Makasih, Lia..”
Aku mengangguk. Namun, bukankah ini yang kuharapkan? Bukankah ini yang benar-benar aku inginkan? Alvin telah kembali padaku. Aku tak perlu lagi menjalani hari-hari penuh kegalauan. Tetapi, kenapa rasanya ada yang mengganjal di hatiku? Kenapa rasanya hatiku tak rela kalau kembali pada Alvin?
to be continued...
Clock
facebook site..
the story...
Popular Posts
linkwinklink!
Minggu, November 20, 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar