Jumat, November 25, 2011

The Time Just Can Answer (Part 02 by: Nanha Alfonsa)

Diposting oleh Ria Primadiharti di 6:25:00 PM 0 komentar
Waktu itu hanya bisa menjawab. Jadi jika kita mempunyai masalah, jangan pasrahkan pada waktu. Karena waktu hanya bisa menjawab. Tidak untuk menyelesaikan.


***


Langit kembali gelap. Lia menyeruput pelan teh hijau buatan ibunya. Lia menyipitkan matanya. Rasa dari teh hijau ini baginya pahit. Karena memang teh hijau tidak ada yang memanjakan lidah, bukan?

Lia menaruh cangkir putih yang bercorak disisinya itu, di meja yang berada di sampingnya. Kini Lia berada di balkon kamarnya. Lia kembali teringat Alvin. Sesosok laki-laki yang mampu mengubah dunianya hanya dalam hitungan detik. Lia kembali ragu akan perasaanya sama Alvin.

Lia kembali teringat dimana ia dan Alvin menjadi kekasih sewaktu mereka masih SMP.


»º«
Suasana beberapa tahun yang lalu di sekolah mereka. Lia duduk di bangku taman sekolah. Terlihat banyak murid-murid yang berada disana. Kini sedang jam istirahat. Lia menggigit roti yang dibawakan oleh ibunya.

Ia melihat ke sisi kiri. Ada Ati dan Putra yang sedang berduaan, mereka tampak serasi. Terkadang Lia ingin seperti mereka. Ia melemparkan pandangannya ke sisi kanan tepatnya kearah lapangan basket. Banyak yang ikut berpartisipasi mendukung salah satu diantara mereka. Cukup riuh.

Lalu Lia memandang kearah depan. Terlihat pohon besar yang gagah dan rindang yang dikelilingi oleh bermacam-macam jenis dan warna bunga yang terlihat sangat segar. Suasana itu menambah suasana tenang, dan damai jika berada di sekitarnya.

Lia menggigit lagi rotinya. Lalu ia merasakan tepukan pelan di bahu kanannya. Lia menoleh. Terdapat Alvin di sana yang tengah tersenyum manis padanya. Lia balas tersenyum. Lalu Alvin duduk disamping Lia.

“Gimana kalungnya? Suka?” tanya Alvin.

Lia menujukan ingatannya ke hari rabu lalu dimana Alvin memberikan kalung berbandul kupu-kupu.

“Iya, suka.” Kata Lia.

“Kalau suka, kenapa gak dipake aja sekarang?” tanya Alvin penuh selidik. Lia terkekeh kecil.

“Kamu lupa peraturan disekolah kita? Dimana murid tidak dibolehkan memakai aksesoris yang berlebihan!” elak Lia. Alvin terkikik.

“Bahasamu!” ejek Alvin.

Tanpa disadari, bel yang menandakan bahwa istirahat telah selesai kembali terdengar. Semua siswa kembali ke kelas masing-masing melanjutkan kegiatan mereka.


»º«
Hari itu, tepatnya hari senin, Lia melihat-lihat buku diperpustakaan. Pandangannya tertarik pada sebuah buku yang bersampul biru langit. Lia ingin meraihnya, namun tidak sampai. Tapi untunglah ada seorang yang baik hati yang mau membantu Lia mengambil buku itu.

Lia berharap itu Alvin. Namun ternyata...

“Thanks,” ujar Lia ramah. Pemuda itu tersenyum.

“Urwel,” jawab pemuda itu tersenyum manis.

Terbesit rasa kagum dihati Lia pada pemuda itu yang ternyata adalah Putra, yang pasalnya adalah kekasih dari sahabatnya—Ati—.

‘Lia, dia pacar sahabatmu!’ keluh Lia dalam hati.


»º«
Sampai rumah, Lia membanting pelan tubuhnya dikasurnya. Ia memandang langit-langit kamarnya.
“Kok aku jadi kepikiran Putra, sih? Diakan Cuma temanku,” keluh Lia.

“Alvin juga sih tadi gak masuk. Kenapa sih dia?” keluh Lia lagi. Ia meraih telepon genggamnya. Tidak ada pesan masuk ataupun panggilan tak terjawab. Ia hanya bisa mengeluh.


»º«
Lia dan keluarga memutuskan untuk makan malam di restoran saja. Karena ibunya tidak sempat memasak. Lia meminta izin kepada ayah dan ibunya untuk ke toilet sebentar. Saat ingin masuk kedalam toilet, ia menabrak sesosok pemuda. Saat ia menoleh kearah pemuda tersebut, keduanya terkejut.

“Lia?” tanya lelaki tadi heran.

“Putra?” balas Lia kepada lelaki—Putra—itu.

“Ngapain disini, Li?” tanya Putra.

Lia tersenyum. Terbesit rasa kagum itu di benaknya. Oh God!
“Eng, ya makan dong! Masa beli odol?” jawaban konyol mulus keluar dari mulut mungil Lia. Bodoh Lia! Batinnya.

“Haha, yasudah. Aku masuk dulu, ya?” izin Putra lalu masuk kedalam toilet pria.

Lia ikut masuk kedalam toilet wanita. Jantung Lia berdegup kencang.
Hanya satu di dalam benaknya, Putra dan Alvin.


‘Ya ampun Tuhan. Mengapa aku menyukai Putra? Padahal aku punya Alvin!’


»º«
Alvin menatap bintang-bintang yang bertebaran abstrak dilangit malam. Ia kembali merenungkan sikapnya yang baginya sangat merugikan dirinya sendiri. Alvin mengacak-acak rambutnya yang sudah mulai memanjang. Ia rindu Lia. Yang ia inginkan hanya Lia.

Ia kembali bingung. Mengapa ia tega melakukan hal bodoh yang menyakiti hati Lia. Ia menerima tawaran ayahnya yang akan memberangkatkan ia ke Kalimantan dan melanjutkan pendidikannya disana.

Dia refleks mengangguk tadi. Karena tak konsenterasi mengkuti arah pembicaraan ayahnya. Mau membatalkan, tapi gak enak.

Alvin bingung.


»º«
Langkah Lia kembali terdengar hingga ujung koridor sekolah. Ia telat pagi ini. Kini Lia ada didalam kelasnya. Lia menoleh kearah bangku yang biasa Alvin tempati. Kosong.

Lia kembali menatap depan. Ia bingung dengan sifat Alvin akhir-akhir ini. Lalu Lia memandang kearah tempat Putra. Terlihat Putra tengah tersenyum kearahnya. Lia membalas senyumnya. Lalu Lia melemparkan pandangan kearah Ati—pacar Putra—, yang tengah memandangnya garang.


»º«
Hari ini, terutama pagi ini, Alvin sudah datang. Lia sangat puas. Lalu ia menghampiri Alvin. “Kemana kamu akhir-akhir ini, Vin?” tanya Lia dengan senyum ramahnya. Terjadi keheningan sejenak. Lalu Alvin berdiri dari tempat duduknya.

“Bukan urusan lo!” bentak Alvin lalu keluar dari kelasnya. Lia heran. Apa Alvin tahu bahwa ia memiliki rasa pada Putra? Ah tidak mungkin! Lia saja belum tahu pasti dengan perasaanya. Masa Alvin sudah marah? Mustahil! Jadi, apa?


»º«
Sudah berapa helai rambut rontok dari kepalanya. Dikarenakan Alvin selalu menjambak rambutnya. Ia menyesal telah membentak Lia. Ia tahu maksud Lia tadi baik. Ia sangat menyesal!


»º«
Sudah seminggu ini Alvin sering membentak Lia. Lia selalu menangis di kamarnya. Keputusannya sudah bulat akan memutuskan Alvin, walau Cuma sepihak. Lalu, setelah Lia memutuskan hubungannya dengan Alvin, Alvin pergi tak ada kabar, tak ada kata maaf dari mulut Alvin. Padahal ternyata Alvin pindah ke Kalimantan. Tetapi ia—Lia— tak tahu kabar kepindahan itu sampai sekarang.


»º«
Lia kembali ke masa sekarang. Masa dimana ia sudah beranjak dewasa. Ia hanya bisa berharap kalau, perasaannya ke Putra segera musnah. Dan hubungannya dengan Ati segera membaik. Lia menarik nafas, lalu kembali menatap bintang dilangit dari arah balkon kamarnya, lalu kembali menyeruput teh hijaunya.


To be continued..

Ternyata Cinta (Part 01)

Diposting oleh Ria Primadiharti di 6:01:00 PM 0 komentar

Cinta memang harus diungkapkan karena tidak pernah ada cinta yang disembunyikan, kecuali oleh seseorang yang terlalu mencinta. –5 cm

***

Seperti déja vu. Terulang kembali peristiwa yang perlahan berhasil ia lupakan. Peristiwa yang membuatnya galau berbulan-bulan. Peristiwa yang membuatnya dijauhi sahabatnya.

Ia menyukai cowok yang disukai sahabatnya.

Dan ketika ia berhasil melupakan sedikit demi sedikit segala tentang cowok itu, seseorang di masa lalunya hadir. Mengoyak luka perih yang dibuatnya.

***

Sivia sedang asyik mendengarkan lagu melalui earphone-nya saat sahabatnya memasuki kelas dengan wajah berbinar-binar. Tapi karena ia tidak melihat kehadiran sahabatnya itu, Sivia tetap santai sambil mengunyah keripik kentang yang tadi dibelinya di kantin.

"Vi, tadi gue disapa sama Gabriel, kyaaa..!" Sahabatnya itu memulai sesi curhat.

Sivia langsung tersedak saat mendengar ucapan cewek di sebelahnya. Setelah menenggak air minum yang dibawanya, Sivia melepaskan earphone-nya dan menatap ke sahabatnya.

"Gabriel... nyapa elo?" tanya Sivia ragu-ragu.

Cewek itu mengangguk dengan wajah yang jelas terlihat senang. "Iyaa! Duh, mana tadi dia senyum ke gue! Ya ampun, gantengggg bangetttt!"

Sivia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Halah, lebay banget lo hahaha," Bagi Sivia, tawanya itu terdengar sangat hambar. Dan Sivia hanya bisa berdoa semoga Ify tak merasakannya.

"Bodo amat! Yang penting Gabriel ganteng! Haha," sahut Ify sama sekali nggak nyambung.

Sivia cuma tersenyum tipis. Ya, dia juga mengakui kok kalau Gabriel emang ganteng.

***

Ify gusar menunggu angkot yang tak kunjung datang. Bolak-balik lihat jam sama jalan secara bergantian. Hari semakin sore tapi Ify belum juga pergi dari halte. Gara-gara Mang Udin nggak bisa jemput nih! gerutu Ify dalam hati.

Sebenarnya tadi Ify mau nebeng Sivia, tapi gara-gara Sivia punya keperluan yang nggak bisa ditunda, dia jadi nggak enak mau nebeng. Rumah mereka beda jalur, jadi nggak mau makin ngrepotin Sivia. Tapi hasilnya? Jarum jam tangannya sudah hampir menunjukkan pukul lima tepat tetap saja tak ada angkot yang lewat. Rese!

"Loh? Ify? Belum pulang? Nunggu siapa?"

Saking terkejutnya, Ify langsung menoleh. Oh my God, apa dia nggak mimpi?

"Eh emmm, belum. Nunggu angkot, sih.." jawab Ify terbatah.

Cowok yang menyapanya tadi mengangkat alis. "Angkot? Jam segini udah nggak ada yang lewat sini loh, Fy.." Cengiran lebar terpetak di wajahnya.

Ify langsung panik. Baru sadar kalau jam segitu angkot udah pada balik ke sarangnya. "Yah, trus gue naik apaan dong? Masa iya harus jalan kaki sampe rumah? Aduuuh..."

Cowok tadi tersenyum melihat tingkah Ify. "Mau bareng gue aja? Kebetulan kan searah."

Mata Ify langsung terbelalak tak percaya. "Hah? Serius? Nggak apa-apa?" Sinar kebahagiaan jelas terpancar dari wajah ayunya.

"Iya nggak apa-apa lah.. Tapi gue ngambil motor dulu, ya?"

Ify mengangguk cepat, tak bisa menyembunyikan senyumnya. Bahkan ia terus memperhatikan cowok itu sampai kembali masuk kawasan sekolah untuk mengambil motornya. Dan ketika cowok itu menghampiri Ify, Ify langsung naik ke boncengan.

"Sori ya, Fy, kalo gue keringetan. Tapi gue nggak bau kok. Haha.." Setelah berucap demikian cowok itu melajukan Cagiva merahnya.

Ify cuma geleng-geleng. Cowok ini emang nggak bau, wangi maskulinnya malah lebih wangi dari parfum yang katanya bikin bidadari lupa diri itu. Hah, lama-lama di belakang cowok ini. Kalau bisa, rumahnya pindah ke Amerika, sana!

Tapi, tanpa disadari keduanya, ada seseorang yang memerhatikan mereka. Menatap mereka dengan penuh keirian.

***

Sivia sedang menatap layar komputernya yang menunjukkan foto-foto saat ia masih SMP ketika mendapati ponselnya berdering nyaring.

1 new message
From: Ipoonggg


Cewek itu menghela napas saat mengetahui si pengirim pesan. Pasti mau bahas Gabriel! batinnya sarkatis. Segera dibukanya pesan itu.


Td gw dianter pulang sm gabriel ! :D


Sivia mengangkat kedua alisnya. Tuhkan bener! Dengan cepat jari-jarinya menekan keypad ponselnya, menulis balasan.


To: Ipoonggg
Serius? Sampe rmh? Trus gmn?


From: Ipoonggg
Iyalah, ms sampe tikungan sblh sekolah doang?--"
Gak gmn2 sih, tp kan gue seneng bgt viiii xD


To: Ipoonggg
Yes besok gue dpt traktiran :O


From: Ipoonggg
Traktiran pala lo peyang? Ngpain traktiran sgala, kan cuma dianterin plg. Tar kalo jadian baru lo gw traktir! *amin* :p



Sivia merasa ada yang membuatnya tak nyaman saat membaca balasan dari Ify itu. Sebagai sahabat yang baik, tentu saja dia mendukung percintaan sahabatnya. Tapi sebagai seorang cewek? Pasti gara-gara gue jomblo nih! Makanya sirik. Sivia berusaha meyakinkan hatinya supaya berpikiran positif saja. Nggak baik mikir negatif mulu. Dosa.


To: Ipoonggg
Iyadeh dtunggu :p


From: Ipoonggg
Hahaha. Untung yah vi, td gw gak jd bareng lo x)


"Nggak, Fy. Kenapa tadi lo nggak bareng gue aja?" lirih Sivia. Dia buru-buru mematikan komputer saat layarnya menampilkan wajah seseorang. Seseorang yang benar-benar ingin dilupakannya.

***

"Saya Mario Stevano Aditya, pindahan dari Surabaya..."

Kelanjutan kalimat cowok yang berdiri di depan kelas itu tidak dipedulikan oleh para cewek yang melongo ngeliatin dia. Apalagi cowok itu menyunggingkan senyumnya yang membuat para cewek jejeritan nggak jelas. Dan hal itu sukses membuat Gabriel risih.

Tapi berhubung cowok tadi adalah teman masa kecilnya, Gabriel cuma bisa geleng-geleng kepala. Dari dulu, si Rio emang gampang banget terkenal gara-gara mukanya yang bisa dibilang di atas standar–sesama cowok masa bilang ganteng? Gengsi dong!–dan beberapa bakatnya yang menawan. Pokoknya tipe-tipe ideal para cewek ada di Rio deh. Biarpun nggak semuanya, paling nggak ada beberapa laah..

"Jadi juga lo pindah ke sini," ucap Gabriel saat Rio duduk di sebelahnya. Tadi Bu Tri memang menyuruh Rio duduk satu bangku dengan Gabriel.

Rio cuma nyengir. "Iya, dong. Kan lo yang nyuruh gue sekolah di sini."

Gabriel manggut-manggut. "Eh gue kan cuman nyaranin, nggak nyuruh,"

"Ya sama aja, Yel. Kata lo ceweknya cantik-cantik sih makanya gue mau sekolah di sini."

Keduanya cekikikan bersama, lalu langsung diam saat Bu Tri menatap tajam ke arah mereka.

"Ntar lo gue kasih liat cewek inceran gue, deh. Cakep banget pokoknya!" bisik Gabriel.

***

Rio cuma bisa terdiam melihat cewek yang ditunjuk Gabriel. Pikirannya seakan melayang ke peristiwa dua tahun lalu...

Rio bisa melihat sinar kepedihan di mata cewek itu saat ia mengatakan kalau sudah berpacaran dengan Dea–sesuai permintaan cewek itu. Tapi sinar itu seakan bisa ditutupi dengan senyumnya yang tulus. Tapi tetap saja seperti kaca yang tak bisa menutupi pemandangan di baliknya.

"Long last ya, Yo.."

Rio masih mengingat ucapan itu. Ucapan yang disampaikan dengan menahan suara agar tak terdengar parau. Ucapan yang membuatnya semakin merasa tak bisa berbuat apa-apa saat itu. Dan sepertinya Rio bisa melihat sinar yang sama sekarang. Sinar yang ditunjukkannya saat menatap cewek lain yang kemungkinan adalah sahabatnya.

Rio menarik napas panjang lalu mengembuskannya dengan kencang.

"Dia cantik kan, Yo?" tanya Gabriel sambil cengengesan.

"Hah?" Rio menoleh pada Gabriel, lalu kembali menatap cewek tadi. "Iya, cantik, manis pula."

***

Ify mengerutkan dahi heran saat melihat Sivia menatap ke arah kelas Gabriel dan kebingungan. Ify pun mengikuti arah pandang Sivia. Di sana ada Gabriel dan seorang cowok yang berdiri membelakangi mereka. Ify pun tersenyum ke arah Gabriel dan langsung dibalas oleh cowok itu.

"Gabriel daritadi meratiin gue ya, Vi?" tanya Ify setelah mereka menyingkir dari tempat tadi.

Sivia mengangkat bahu. "Maybe.."

"Kayaknya sih iya! Abis tadi gue senyum ke dia trus langsung dibales senyum sama dia, hihi.."

"Gue kok penasaran sama cowok yang sama dia tadi ya, Fy? Kira-kira lo kenal nggak?"

"Kenapa? Lo naksir, ya? Hayooo..."

Sivia buru-buru menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Nggak, lah.. Kasih tau gue cowok tadi siapa.."

"Kalo nggak Dayat yaa Ray.. Abis temen akrabnya Gabriel kan itu.."

"Kalo Ray jelas nggak mungkin lah, Fy. Tuh cowok kan rambutnya gondrong, sementara cowok tadi cepak. Kalo Dayat, kok kayaknya cowok tadi lebih kurus, ya?"

"Entahlah, Vi.. Emang kenapa, sih?"

"Nggak apa-apa. Kayaknya gue kenal aja sama tu cowok. Tapi nggak tau juga, ding."

***

Sivia tersenyum sambil melambaikan tangan saat Ify memasuki mobil jemputannya. Sivia merasa lega. Paling nggak, siang itu Ify nggak harus bareng Gabriel. Hihi.

Cewek itu pun bersiap meng-gas motornya, namun terhenti saat sebuah motor menghalangi jalannya. Tombol klakson pun dipencet bolak-balik sama Sivia sampai akhirnya motor itu pergi.

Tapi saat bersiap meng-gas motornya untuk kedua kalinya, Sivia kembali mengurungkan niatnya. Dia melihat cowok itu! Walaupun dari belakang, tapi Sivia yakin kalau yang dilihatnya saat ini adalah cowok yang tadi berdiri di sebelah Gabriel dan membelakanginya, karena posturnya sama. Sama-sama kurus.

Dada Sivia serasa berdesir halus. Entah apa yang mengusiknya, tapi dia merasakan tak nyaman. Seakan-akan dikarenakan cowok yang kali ini membelakanginya lagi. Tapi Sivia tak pernah merasakan desiran seperti ini pada cowok selain Gabriel dan...

Rio.

###

Aduh garing, ya? x_x
Komen jujur ajadeh yaa :3
Eh kalo komen bisa dimana-mana kok! Di kotak komen di bawah ini bisa, YM bisa, Facebook bisa, Twitter bisa, SMS bisa ._.
Kalo mau lanjut bilang lewat facebook aja ya :)
Oke, makasih, wassalam ^^

@rialohasarap

Minggu, November 20, 2011

The Time Just Can Answer (Part 1 by : Ria 'gabria' PrimaDamanik)

Diposting oleh Ria Primadiharti di 8:57:00 AM 0 komentar
Waktu itu hanya bisa menjawab. Ketika sudah menjawab maka waktu tidak akan memberikan kesempatan lagi yang akan menjadi penghapusan kesalahan. –Author

***

[ Author P.O.V ]

Bangunan berwarna broken white tersebut terlihat paling ramai di antara bangunan lain di sekitarnya. Di halamannya yang luas terparkir beberapa motor berbagai bentuk dan warna, dari Cagiva sampai Vespa, dari yang masih mengkilap sampai yang warnanya memudar. Namun suasana yang jelas ramai adalah di dalam bangunan yang disebut sebagai ‘villa’ oleh pemiliknya. Muda-mudi dalam balutan busana beraneka warna tampak di sudut ataupun tengah ruangan.

“Ih.. kurusan ya sekarang..”

“Apa kabar? Lama nggak ketemu..”

“Kapan-kapan main PS bareng lagi, yuk? Hahaha..”

“Sekarang kamu sekolah di mana, sih?”

“Keren! Bener kamu Satria yang kutu buku dulu?”

“Udah putus sama Nona? Wah hebat..”

Yah, itulah sebagian dari perbincangan para muda-mudi tersebut. Saat ini mereka sedang melakukan kegiatan yang disebut sebagai ‘reuni’. Yaps. Bertemu dengan teman lama setelah sekian waktu tak bertemu. Namun ada satu gadis yang duduk terdiam di salah satu sofa empuk. Gadis berpakaian dress putih dengan make up natural dan rambut panjang terurai hanya menimang clutch Chanel miliknya yang berwarna putih pula. Sepertinya ia lelah berdiri di atas stiletto putihnya.

“Li! Waw kamu sekarang cantik banget..” Seorang gadis berbalut dress biru navy datang menghampiri Lia bersama pemuda berpakaian tuxedo hitam. Sangat serasi.

Lia mendongak menatap sosok yang menyapanya, lalu tersenyum simpul. “Makasih, Ta. Kamu juga cantik, masih langgeng ya sama Wildan..”

Dita tersenyum lebar. “Iya dong.. kami kan tak terpisahkan, hihi..”

Lia tersenyum tipis. Kalau saja kisahnya mirip Dita, pasti sekarang ia tidak akan sebosan ini. Ah? Apakah pemuda itu akan datang malam ini? Apakah ia akan datang bersama teman-temannya? Astaga! Apa yang Lia pikirkan? Kenapa di saat seperti ini ia teringat dengan…

“Lia?”

Seakan tubuhnya sudah hafal dengan suara lembut tersebut, Lia menoleh. Lima detik kemudian dia hanya bisa melongo, menatap sosok yang berdiri di sebelahnya.

…Alvin?

“Bener Lia, kan?” Pemuda itu menatap aneh ke arah Lia. Lia langsung mengangguk cepat.

“Iya, bener kok. Alvin, kan?” Lia berusaha agar suaranya terdengar biasa, tidak gugup.

Alvin tersenyum. “Iya..” Tanpa permisi Alvin duduk di sebelah Lia. Wangi Ralph Lauren Polo langsung tercium oleh Lia. Ah, rupanya pemuda ini masih saja suka dengan parfum-parfum branded, hanya berganti merk.

Meja panjang yang tertutup kain berwarna krem terlihat sangat penuh. Ya, tentu saja. Karena itu meja makan. Berbagai makanan tersedia di sana. Ada rendang, dendeng, bahkan cwie mie Malang (makanan khas Malang) sampai bakso. Minumanpun juga lengkap. Dari Es Durian sampai STMJ (Susu Telur Madu Jahe –sejenis jamu-). Yah tentu saja di cuaca dingin seperti ini yang paling laris adalah Wedang Ronde.

"Jadi kamu, Ti, yang minta Alvin buat nemuin Lia?" tanya seorang gadis berjepit kupu-kupu sebesar telapak tangan kepada gadis bergaun hitam di hadapannya.

Ati mengangguk. "Iya, aku kasihan aja sama Lia, dia kayaknya kangen banget sama Alvin.." jawab Ati sambil menyeruput wedang rondenya.

"Tapi entar kalau Lia galau lagi gimana?" tanya Kiran lagi.

"Err.. iya, sih. Tapi paling nggak kan dia seneng dulu, hihihi.."

Kiran memutar bola matanya. "Dasar.."

Sementara itu yang mereka bicarakan tampak menunduk, tak berani menatap pemuda tampan di sampingnya. Suasana kaku terpancar jelas di antara mereka. Entah apa yang dipikirkan keduanya.

Menurut Lia, Alvin tampak sangat tampan malam ini. Oh Tuhan, kapan Alvin terlihat 'jelek'? Bukankah pemuda itu selalu tampan? Yah, setidaknya itu menurut Lia. Mungkinkah karena faktor lamanya mereka tidak bertemu? Mungkin saja. Bukankah penampilan seseorang akan terlihat berbeda jika lama tidak bertemu?

"Kamu sekarang di SMA 2 ya, Li?" Alvin bersuara, mencoba membuat suasana lebih cair.

"Hah?" Lia menoleh pada pemuda berkulit putih tersebut. "Iya, kenapa?"

"Nggak kenapa-kenapa, nanya aja."

Dan suasana kembali kaku sampai acara malam itu selesai.

***

Masa lalu menyimpan kenangan yang beberapa di antaranya manis dan pahit. Berusaha keras melupakan kenangan pahit itu sulit. Apalagi kalau seseorang datang dan kembali mengingatkan pada kenangan pahit itu.

Itulah yang dialami Lia. Gadis belia berusia enam belas tahun tersebut kembali galau saat mengingat pertemuannya dengan pemuda-penoreh-luka-hatinya semalam. Siapa lagi kalau bukan Alvin?

Masih dalam keadaan super galau, Lia menginjakkan kaki di tanah sekolahnya, SMA 2 Malang. Setelah menghela nafas panjang, Lia berjalan menuju kelasnya, XI IPA 2.

"Li! Lia..!" Seseorang berteriak memanggil namanya. Lia menoleh ke sumber suara, ternyata Ati sedang berlari-lari ke arahnya.

"Kenapa, Ti?" tanya Lia setelah Ati berhasil menjejerinya.

Gadis cantik bernama Ati itu masih terlihat mengatur nafasnya yang satu-dua. "Bareng dong, hehehe.."

Lia tersenyum tipis. "Ya ayo aja.." Kedua gadis itu berjalan beriringan menuju kelas.

"Eh iya, Li, kamu semalam ketemu Alvin, kan?" tanya Ati.

Lia sedikit terkejut mendengar Ati menyebutkan nama Alvin. Akhirnya Lia hanya mengangguk pelan, amat pelan.

"Trus, gimana? Ngobrol, kan?" tanya Ati lagi.

Lia menarik nafas panjang. "Iya, ngobrol, kok.." ..tapi bentar, lanjut Lia dalam hati.

"Oh syukurlah, jadi si Alvin nggak mubazir aku undang ke reuni semalam, hihi.."

Mendengar pernyataan itu seketika membuat Lia menoleh. "Kamu yang ngundang Alvin?"

"Iya, dia kan anak SMP kita juga, jadi wajarlah kalau aku undang.."

Benar juga, pikir Lia. Lia pun tak bertanya tentang Alvin lagi. Membahas Alvin sama saja menabur garam sedikit demi sedikit pada luka hatinya. Membuatnya semakin perih.

***

[ Lia P.O.V ]

Tampaknya aku harus ke perpustakaan umum hari ini. Aku bosan hari Minggu di rumah tanpa melakukan apapun. Kurasa mencari novel di perpustakaan akan sedikit memberiku kegiatan. Akhirnya setelah berpamitan dengan ayah dan bunda, aku menghampiri motor matik biruku dan meluncur ke perpustakaan.

Sesampainya di perpustakaan sebenarnya aku masih bingung harus mencari novel apa. Ya karena ini benar-benar di luar rencana. Akhirnya aku langsung saja menuju rak-rak yang menyediakan novel.

Hei, ada yang baru. City of Bones karya Cassandra Clare sepertinya menarik. Tapi.. kenapa tempatnya terlalu tinggi? Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hening. Tak ada tangga apalagi orang lain. Lalu bagaimana aku mengambil novel itu?

Namun tiba-tiba ada tangan terjulur dari belakangku. Wangi Ralph Lauren Polo menusuk hidungku. Sebentar, sepertinya wangi ini tidak asing. Apalagi bercampur wangi maskulin alami mirip.. Alvin?

“Mau ambil ini, Li?”

Seketika aku menoleh ke belakang. Oh Tuhan, kenapa aku harus bertemu dengannya di sini? Saat ini?

“Lia? Kok bengong, sih?”

Aku menggelengkan kepalaku pelan. “Oh, sori, Vin.. Iya aku mau ambil itu tadi..”

“Noprob, ya udah nih..” Alvin menyodorkan novel setebal kira-kira lima ratus halaman lebih, mungkin setebal Harry Potter, atau lebih tipis seperti The Host? Entahlah, menurutku lebih tebal dari The Host. Aku pun menerima novel bersampul hijau-hitam tersebut.

“Thanks, Vin..”

Alvin tersenyum. Oh dear, senyumnya sangat menawan. Senyum itu senyum yang sangat kurindukan. Lagi-lagi aku terpaku menatap Alvin. Ketampanannya seolah menghipnotisku untuk terus menatapnya.

“Li? Kamu baik-baik aja, kan? Kok diam, sih?”

Dan suaranya bagai seruan untuk menyadarkanku dari hipnotis tersebut.

“Oh, sori, Vin..” Lagi-lagi kata maaf yang keluar. Aku benar-enar tidak tahu harus berkata apa saat berhadapan dengannya.

“Ya ampun, Lia.. Kamu hobi banget ya minta maaf? Hehehe..”

Aku hanya tersenyum simpul mendengar candaannya tersebut.

“Eh iya, Li, abis ini kamu ada acara, nggak?”

Aku mengangkat sebelah alisku. “Acara? Kayaknya enggak, deh. Kenapa emang?”

“Umm.. ikut aku, yuk?”

“Ke mana?”

“Café, beli cake, ya?”

Cake? Astaga, kenapa Alvin mengajakku ke tempat yang menyediakan menu seperti itu? Apa dia sedang mencoba memancing perasaanku? Apa dia sedang berusaha memberi harapan kepadaku? Harapan yang seharusnya tak diberikannya sejak dulu. Namun tak bisa kupungkiri, sepercik harapan muncul di relung hatiku.

“Diam berarti iya. Yuk!” Tanpa persetujuanku, Alvin menarik tanganku lalu meletakkan novel yang kubawa di meja resepsionis supaya petugas itu mencatat kalau novel itu kusewa.

Setelah semua urusan di perpustakaan selesai, kami berdua keluar dari tempat itu.

“Kamu bawa motor sendiri ya, Li?” tanyanya.

Aku mengangguk. “Iya, kenapa?”

“Yah kalau gitu kamu ikutin aku dari belakang aja, ya? Jangan kabur loh.” Alvin mengacak rambutku. Sial, kenapa dia kembali melakukan hal itu? Hal yang membuat percikan harapan itu semakin membesar.

***

“Cheese Cake satu, Chocolate Cake satu, Earlgrey Tea satu, Cappuccino Latte dua ya, Mbak. Oh iya, lattenya yang satu polosan aja, yang satu artnya gambar hati, ya?”

Dengan lihai Alvin memesan menu. Mbak-mbak pelayan terlihat kelimpungan mencatat pesanan Alvin. Namun setelah Alvin meluncurkan senyum andalannya, Mbak Pelayan itu seakan tersetrum dan kembali bersemangat.

“Baik, mohon tunggu sebentar..”

Sepeninggal pelayan, aku menatap Alvin.

“Kenapa, Li? Kok ngeliatin aku segitunya?” tanyanya.

Aku menggeleng. “Nggak apa-apa, kok.”

“Eh iya, kamu masih suka cake coklat, kan?”

“Iya, masih kok.. mana mungkin aku jadi nggak suka sama cake itu?” jawabku sambil tersenyum. Ya, bagaimana mungkin aku lupa dengan cake-sejuta-kenangan itu? Cake yang menghubungkan aku denganmu, Alvin?

“Syukurlah.. Jadi keinget waktu kamu ngambek, tinggal nyodorin cake coklat aja pasti kamu nggak ngambek lagi, iya kan?”

Aku kembali tersenyum. Iya, Alvin. Kamu tahu nggak kenapa aku selalu berhenti ngambek kalau kamu memberiku cake itu? Karena cake coklat mirip denganmu. Sedikit saja mencoba, pasti akan ketagihan, sulit untuk melupakan rasanya. Mirip denganmu, tahukah kamu kalau –sampai saat ini- aku masih belum bisa melupakan kenangan kita? Baik yang pahit maupun yang manis, seperti rasa coklat.

Karena terus membayangkan semua kenangan indah antara aku dan Alvin, sampai-sampai aku tak sadar kalau pesanan kami datang.

“Li? Kok aku jadi khawatir ya sama kamu?”

Aku kembali tersadar. “Loh? Kenapa?”

“Abis kamu diem mulu, kamu sakit?”

Vin, kenapa kamu –kembali- begitu perhatian padaku? Tidak, kumohon jangan memberiku harapan kalau pada akhirnya kau kembali mengosongkan harapanku.

“Nggak kok, aku nggak apa-apa..” jawabku lalu memotong cake berbentuk segitga sama kaki tersebut. “Eh iya, kamu kenapa pesen cappuccino dua? Kamu udah cukup teh aja, kan? Masa kamu nyuruh aku minum dua cangkir cappuccino?”

Alvin tertawa renyah. Ah, sudah lama aku tak melihatnya tertawa seperti ini. “Kamu lucu deh, Li.. Tapi emang bener itu buat kamu dua-duanya..”

Aku mengangkat alis heran. “Serius, Vin?”

Alvin mengangguk yakin.

“Kamu pikir aku gentong, apa? Masa suruh minum dua cangkir?”

“Ih, makanya dengerin dulu kalau orang ngomong..”

“Kamu nggak buruan ngomong sih..” potongku cepat, lalu nyengir.

Alvin tampak mendesah. “Tuh aku mau ngomong tapi kamu potong gitu aja.”

“Eh, sori, Vin..”

Tiba-tiba Alvin terkekeh. “Ya ampun, Lia.. Kamu beneran hobi minta maaf, ya? Hihihi..”

“Ih, biarin, weeekk..” Aku menjulurkan lidahku, sedikit meledeknya.

“Hahaha iya iya deh.. Aku minta kamu pilih satu di antara cappuccino itu, tapi nggak boleh asal pilih, harus benar-benar dari dalam hati kamu..”

Aku kembali heran. “Maksudnya?”

“Kamu dengerin dulu pertanyaanku, terus kamu jawab dengan cara milih di antara dua cappuccino itu.”

Hei, sepertinya aku tahu ke mana arah pembicaraan Alvin. Mungkinkah ia memintaku untuk kembali menjadi kekasihnya? Jujur, aku berharap demikian. Tapi kalau tidak? Sepertinya aku harus benar-benar berusaha melupakan Alvin.

“Pertanyaannya..” Alvin meraih tanganku dan menggenggamnya. Jantungku berdebar cepat, terasa sekali efek euphoria tersebut. “..kamu mau nggak jadi pacarku lagi?”

Benar, bukan? Aku ternganga mendengar pertanyaan Alvin. Walaupun perkiraanku benar, tapi aku belum menyiapkan jawaban untuk pertanyaan semacam ini. Lagipula, aku belum yakin dengan Alvin. Tanpa pendekatan atau apapun tiba-tiba dia datang dan memintaku untuk menjadi kekasihnya lagi.

“Kamu ragu, Li?” Sepertinya Alvin dapat membaca pikiranku. Aku pun mengangguk lemah.

Alvin menark nafas perlahan, tangannya masih menggenggam tanganku. “Aku serius, Li. Bukannya dulu kamu mutusin aku secara sepihak? Jujur, Li, aku masih sayang sama kamu. Sebenarnya aku nggak rela ngelepasin kamu waktu itu. Tapi melihat kamu terluka gara-gara aku, aku jadi sadar, mungkin memang lebih baik kalau kita berpisah. Dan kamu tahu, Li? Waktu melihat kamu di pesta itu, aku jadi berpikir kalau aku benar-benar nggak rela kalau kita berpisah. Aku ingin memperbaiki semuanya, supaya nggak kayak dulu lagi..”

Aku tertegun mendengar pernyataan Alvin. Aku benar-benar tidak menyangka kalau dia masih menyimpan perasaan terhadapku. Aku fikir, dia pasti melupakanku.

“Kalau kamu mau, kamu pilih yang ada gambar hatinya, kalau kamu nggak mau, pilih yang polos aja, ya?” lanjutnya.

Aku menatap kedua cangkir cappuccino tersebut. Bingung. Mana yang harus aku pilih?

“Pilih, Li. Aku sayang kamu..” Alvin melepaskan genggaman tangannya. Aku tersenyum. Dengan yakin aku meraih cappuccino berhati dan menyeruputnya perlahan.

“Tentu kamu udah tahu jawabanku, kan?” tanyaku sambil tersenyum.

Alvin tersenyum lebar. Sangat terlihat jelas ia bahagia. “Makasih, Lia..”

Aku mengangguk. Namun, bukankah ini yang kuharapkan? Bukankah ini yang benar-benar aku inginkan? Alvin telah kembali padaku. Aku tak perlu lagi menjalani hari-hari penuh kegalauan. Tetapi, kenapa rasanya ada yang mengganjal di hatiku? Kenapa rasanya hatiku tak rela kalau kembali pada Alvin?

to be continued...
 

Bright sunshine at blue sky.. Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea