Kamis, Januari 12, 2012

Promises, Promises (Bab 01-B)

Diposting oleh Ria Primadiharti di 1:51:00 PM 0 komentar
“YA, Tuhan. Fika!” Mata lelaki itu melebar. Cepat, ia menutup pintu, lalu memutari mobilnya, dan menghampiri Fika.

Wajah Fika semakin pias. Jantungnya kini berdetak cepat. Tubuhnya mulai gemetar. Ternyata lelaki ini benar-benar Adit! Lelaki yang pernah menjadi bagian dari masa remajanya itu, kini berada di hadapannya. Lelaki yang pernah begitu dicintainya, tapi tega meninggalkannya dalam ketidakberdayaan. Lelaki yang begitu ingin dilupakannya. Lelaki yang begitu ingin dibencinya. Satu-satunya manusia yang tidak ingin ditemuinya lagi–seumur hidupnya. Rupanya, harapannya tidak terkabul. Tanpa sadar Fika melangkah mundur, menjauhi Adit yang telah berdiri di hadapannya.

“Apa kabar, Fika?”

Fika menundukkan pandangannya, menatap tangan yang terjulur di hadapannya dengan pandangan kosong. Masih sulit baginya untuk memercayai kenyataan yang terhampar di depan mata. Fika meremas tali tas kerjanya dengan resah. “Baik,” gumamnya dengan suara mengambang, tanpa menyambut jabat tangan Adit.

Adit menarik kembali tangannya yang hanya tergantung canggung di udara. Ditatapnya Fika dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. “Udah lama sekali kita nggak ketemu,” katanya setelah terdiam sejenak.

Perlahan, Fika mendongak, menatap langsung ke mata lelaki di hadapannya. Hatinya mencelos saat melihat warna bola mata lelaki di hadapannya. Cokelat muda dengan lingkaran kelabu di sekelilingnya. Jantung Fika berdetak semakin cepat. Secuil keraguan yang tersisa di hatinya musnah dalam sekejap. Kini ia seratus persen yakin lelaki di hadapannya ini adalah Adit. Adit yang bukan lagi seorang remaja. Aura kedewasaan dan karismatik yang kini dimilikinya membuat lelaki itu tampak semakin tampan. Fika menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan keresahannya. Berusaha menahan nyeri yang mulai merayapi hatinya saat koreng yang tertinggal di sana mulai terkelupas–satu per satu.

Fika menarik napas dalam-dalam, berusaha keras mengendalikan diri. Berusaha menetralisir rasa terkejut yang pasti terpeta jelas pada wajahnya. Berusaha menunjukkan ketidakpedulian meski ia mengenal lelaki ini. Berusaha menunjukkan bahwa tidak ada sesuatu yang istimewa yang pernah terjadi di antara mereka di masa lalu. Berusaha menampilkan sikap tenang dan formal yang selalu ditampilkannya pada klien. Hanya satu yang tidak bisa ditampilkannya pada klien yang satu ini; keramahan.

“Jadi, kamu desainernya D'Zire?” Adit menatap Fika dengan ekspresi tak percaya.

Dengan gerakan kaku, Fika menganggukkan kepala. “Dan, kamu manager-nya Lisa?”

Kedua alis Adit terangkat. “Manager Lisa..?” Perlahan, senyum samar menghias wajahnya. “Bukan, aku... suaminya.” Adit merendahkan tatapannya, “atau, lebih tepat jika disebut calon mantan suami... Kami sedang dalam proses perceraian.”

Mata Fika kembali terbelalak. Tak percaya. Semua orang bahkan tahu, siapa Lisa–terutama para pecinta sinetron–dan betapa perempuan itu tidak suka kehidupan pribadinya menjadi santapan umum. Dan meskipun demikian, semua penduduk Indonesia pun tahu bahwa Lisa telah menikah beberapa tahun yang lalu, walaupun tidak ada yang tahu dengan siapa ia berumah tangga. Namun, siapa yang menyangka kalau suami artis terkenal itu adalah lelaki yang dikenalnya? Bahkan, lelaki yang pernah menjadi miliknya? Fika bingung saat sebuah perasaan aneh merambati hatinya. Perasaan yang tidak dipahaminya. Sebelum ia sempat menyelami perasaannya, sebuah pertanyaan melintas cepat di benaknya. Kalau rumah ini milik Lisa, lalu apa yang dilakukan Adit di tempat ini? Fika menghela napas panjang. Ah, sudahlah. Kedatangannya ke mari untuk bekerja, bukan untuk mengorek-ngorek kehidupan pribadi Adit dan artis terkenal itu. “Boleh aku melihat rumah kamu sekarang?”

Adit mengangguk sambil tersenyum canggung. Ia memutar tubuhnya dan melangkah menghampiri pagar. Membukanya, dan mempersilakan Fika masuk. Fika berjalan mendahului Adit, menyeberangi halaman yang telah tertata rapi. Mata Fika menyapu bangunan di hadapannya. Mengamati pintu dan jendela-jendela besat yang didesain secara khusus dari dekat. Semuanya terlihat alami dan menampilkan karakter kayu merbau yang kuat.

Adit mempercepat langkahnya, mendahului Fika. Ia menghampiri pintu depan dan membukanya. Tanpa menunggu dipersilakan lagi, Fika melangkah masuk. Sebuah ruang lapang dan tanpa isi langsung menyambutnya. Ternyata rumah ini tidak hanya didesain dengan cermat dari sisi luar saja, tetapi juga dalam penataan ruang, sistem pergerakan udara dan perolehan view dari dalam rumah. Penempatan innercourt dan voit di atas ruang keluarga menciptakan pertukaran udara secara maksimal. Fika menyukai apa yang dilihatnya. Rumah ini bagus, dan ia pasti akan senang mengerjakan dekornya. Sayang, ia tidak bisa meng-handle proyek ini–lebih tepatnya, tidak ingin. Sementara telinganya menangkap penjelasan Adit yang mengiringi langkahnya menelusuri setiap jengkal rumah, Fika sibuk mencari-cari alasan yang tepat untuk disampaikan pada Steve agar ia bisa mengalihkan proyek ini ke tangan interior designer lainnya.

“Sudah berapa lama kerja di D'Sire?”

“Dua tahun.”

“Kamu menyukai pekerjaanmu?”

“Begitulah,” jawab Fika tak acuh.

Adit menghela napas panjang. Rasa senang yang muncul saat mengetahui perempuan cantik ini adalah kekasih lamanya, musnah dalam sekejap. Rasa kecewa merayapi hati Adit, menyadari betapa dinging sikap Fika terhadapnya. “Menurut kamu, interior seperti apa yang paling cocok untuk rumah ini?”

Fika menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan yang tampak terang oleh cahaya matahari yang menyelinap masuk dari setiap jendela besar. Semua ruang di rumah ini didesain berskala besar dengan konsep terbuka, sehingga menciptakan komunikasi antar ruang. Beberapa ide melintas cepat di dalam benak Fika. Ide-ide yang ia yakin akan membuat rumah ini tampak semakin cantik. “Modern minimalis.” Fika menyelipkan seuntai rambut yang terlepas dari ikatannya ke belakang telinga, “Tapi aku rasa, modern minimalis nggak sesuai dengan karakter Lisa.”

“Apa urusannya dengan Lisa?”

Nada ketus di suara Adit membuat Fika terkejut. Cepat, ia menoleh pada lelaki di sisinya. Menatapnya penuh tanya.

“Bukannya ini rumah Lisa?”

“Bukan.” Adit memasukkan tangannya ke saku celananya sambil menghela napas berat. “Ini rumahku. Lisa sama sekali nggak tau soal rumah ini.” Suaranya melunak.

Sekarang Fika mengerti mengapa arsitektur bangunannya begitu jauh berbeda dengan karakter Lisa, dan mengapa Adit yang datang menemuinya. Mungkin Steve tidak tahu bahwa Adit telah berpisah dari Lisa, dan sepertinya bosnya itu mengira rumah ini masih milik keduanya.

“Jadi, kapan kamu bisa mulai mengerjakannya?”

Fika mengedikkan bahunya. “Aku harus melihat keseluruhan rumah dulu, memotret, dan mengukur.” Dengan enggan, ia membuka tas kerjanya dan mengeluarkan digital camera yang selalu dibawanya. “Tapi hari ini aku nggak bawa alat pengukur, jadi cukup mengambil beberapa gambar ruangan.”

Adit mengangguk setuju. “Kamu boleh melakukan apa saja. Semuanya aku serahkan padamu,” katanya kalem. “Bahkan, kalau ada ruangan yang ingin kamu bongkar, silakan saja. Nggak usah pikirkan soal budget.”

Hmm... tawaran yang amat menggiurkan! Jarang sekali ada klien yang memberi kebebasan penuh kepada Fika untuk memanifestasikan ide-idenya. Apalagi dengan budget tak terbatas. Kebanyakan dari mereka begitu cerewet dan ingin ikut campur. Tapi ya... memang itu hak mereka sebagai pemilik rumah dan uang. Dan sampai sejauh ini, sudah dapat dipastikan, proyek ini adalah proyek menyenangkan baginya–ia mengeluh dalam hati–dengan catatan; kalau bukan Adit kliennya. Tanpa berkata-kata lagi, Fika mulai mengambil gambar ruangan dengan digital camera-nya.

Adit mengamati Fika yang masih sibuk dengan digital camera-nya. Meski telah beberapa saat ia menemani perempuan ini berkeliling lantai dasar, namun hingga detik ini ia masih juga belum bisa memercayai penglihatannya. Fika benar-benar ada di dekatnya! Perempuan yang dicarinya bertahun-tahun yang lalu, tiba-tiba muncul di hadapannya! Adit tidak menyangka, pertemuan tak sengajanya dengan Steve–seorang teman lama saat kuliah–membawanya kepada perempuan yang amat dicintainya ini.

Adit menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu guestroom. Matanya menjelajahi sosok ramping di dalam ruangan, yang sedang asyik dengan kameranya itu, dengan tatapan penuh kerinduan. Napas Adit tertahan di tenggorok saat melihat jari lentik Fika menyelipkan seuntai rambut ke balik telinga. Jari-jari indah yang dulu sering digenggamnya. Rambut indah yang dulu sering dibelainya. Fika tampak begitu cantik dalam keanggunan dan kedewasaannya. Lebih cantik daripada yang diingatnya. Ya, ia tidak pernah bisa melupakan mata bulat yang jernih dengan bulu mata yang panjang dan lentik itu, hidung yang mancung itu, bibir yang berlekuk sempurna bagai busur panah itu, dan dagu yang lancip itu. Segala sesuatu yang amat disukainya dan amat dirindukannya dari perempuan ini. Adit menelan ludah, membasahi tenggoroknya yang terasa kering. “Kamu menyukai pekerjaanmu?”

“Menurutmu?”

Adit tersenyum canggung. “Dari dulu aku sudah menduga, suatu hari nanti kamu akan bekerja di bidang seni–entah sebagai pelukis, atau di bidang kreatif.” Adit mencoba mengabaikan sikap dingin Fika. “Bahkan, sampai sekarang pun aku masih ingat sketsa-sketsa yang kamu buat. Kamu memang berbakat.”

Ucapan Adit membuat darah Fika membeku. Ia tidak mengerti untuk apa Adit mengingatkannya pada kejadian yang telah lama berlalu? Apakah lelaki ini ingin mengulang kembali kebersamaan mereka dulu? Fika tersenyum sinis. Tidak. Itu tidak akan terjadi. Baginya, Adit adalah masa lalu. Dan, akan tetap begitu. Selamanya. “Aku nggak ingat soal itu,” jawabnya dingin. Bahkan tanpa mau susah payah mengalihkan pandangannya kepada Adit.

Adit tertegun mendengar sinisme yang tersirat pada suara Fika. Rasa kecewa semakin pekat menyelimutinya. Fika bersikap seakan dirinya tidak pernah menjadi bagian istimewa dalam hidup perempuan itu. Bahkan seakan tidak pernah mengenalnya. Sikap perempuan ini membuat dirinya merasa tak berarti. Merasa terbuang. Apakah Fika begitu sakit hati atas kebodohannya di masa lalu? Begitu besarkah kebencian Fika padanya? Adit menundukkan kepala, dan mendesah pelan. Ia tidak akan menyalahkan Fika jika perempuan itu membencinya. Semua memang kesalahannya.

Dari balik bulu matanya, Adit melihat Fika kembali bergerak. Perempuan itu melangkah mendekati pintu. Adit memiringkan tubuhnya, memberi ruang kepada Fika untuk lewat. Namun, ternyata ruang yang diberikannya tidak cukup luas, hingga tangan perempuan itu menggesek perutnya. Bibir Adit mengering seketika. Sentuhan itu sangat ringan,tetapi mampu menimbulkan getar samar di seluruh tubuhnya. Adit menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan diri, lalu kembali membuntuti Fika ke beranda belakang.

Diam-diam, Adit kembali menelurusi jari-jari panjang dan lentik Fika dengan matanya. Mencari benda bulat yang melingkari jari manis perempuan. Sebersit harapan muncul saat ia tidak menemukan cincin nikah di jari-jari indah perempuan itu. Tetapi, apa mungkin perempuan secantik Fika belum menikah? Atau, mungkin bernasib sama dengannya–sudah bercerai? Atau mungkin ia tidak suka mengenakan cincin nikahnya? Tapi, apakah dengan seperti itu suaminya tidak merasa cemas? Bukankah itu bagaikan umpan yang memancing para lelaki untuk mendekati istrinya? Ya, Tuhan. Begitu banyak pertanyaan yang ingin diajukannya. Semuanya sudah berkumpul di benaknya, berdesak-desakan. Namun, mengingat sikap dingin Fika, ia terpaksa menahan diri. Sepertinya ini bukan saat yang tepat. Mungkin–sama sepertinya–Fika pun masih amat terkejut dengan pertemuan yang tak terduga ini. Mungkin saat ini, perempuan itu ingin melampiaskan kemarahannya padanya. Kemarahan yang pasti sudah dipendamnya selama belasan tahun. Yah, ia bisa menerima sikap Fika, apa pun itu. Ia bisa mengerti. Apa yang dilakukannya dulu pasti amat menyakitkan perempuan itu. Amat melukainya. Tetapi, ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Adit berharap, suatu saat nanti, Fika mau mendengarkannya. Dan, mau memaafkannya.

Fika dapat merasakan mata Adit terus mengawasi semua geraknya. Dipandanginya diamkdiam oleh seorang lelaki, bukan hal baru bagi Fika. Banyak klien lelaki yang bersikap seperti itu.

Namun, kali ini berbeda. Tatapan lelaki itu membuatnya sulit untuk tetap bersikap tenang dan tak peduli. Mau tak mau hal ini sangat mengejutkannya. Tiga belas tahun sudah ia tidak bertemu Adit, tetapi ia tak menyangka lelaki ini masih memiliki pengaruh yang begitu kuat atas dirinya. Masih sanggup membuat jantungnya berdebar resah.

Fika menarik napas dalam-dalam untuk mengendalikan dirinya. Sebaiknya ia segera mengalihkan proyek ini pada rekan kerjanya yang lain. Ia tidak sanggup meneruskannya. Ia takut.... Takut tak dapat menguasai diri. Takut dinding yang melindungi hatinya roboh. Ia tidak ingin jatuh cinta lagi pada lelaki ini. Lelaki yang membuat hidupnya menderita, dan telah membuatnya tak percaya lagi pada cinta. Fika menurunkan digital camera-nya, menyelipkan seuntai rambut ke belakang telinganya, lalu mengalihkan pandangannya pada Adit. “Boleh lihat lantai dua?”

Adit mengangguk.

Fika menghampiri tangga yang dikonsep melayang hingga menciptakan garis lebih tegas dalam ruang. Tangga itu didukung dengan bahan kayu di atas balutan warna putih pada bagian struktur pijakan. Karena ingin menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin, terlalu sibuk mengendalikan rasa gugupnya, dan terburu-buru ingin menyelesaikan pekerjaannya, Fika jadi kurang berhati-hati. Hak sepatunya terpeleset. Ia limbung. Tubuhnya kehilangan keseimbangan. Dengan panik, Fika berusaha menggapai railing, tetapi kedua tangannya–yang sibuk memegang tas kerja dan digital camera–membuatnya tidak bisa menggapai railing. Ia tidak bisa menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Dalam keadaan semakin panih, Fika merasakan sepasang tangan besar dan kokoh menahan tubuhnya. Memegangi kedua pinggangnya dengan erat. Tangan Adit! Jantung Fika berdentam semakin liar. Terkejut oleh reaksi yang muncul saat merasakan tangan lelaki itu di tubuhnya, dan malu... membuat wajah Fika menghangat. “Makasih,” gumamnya, tanpa berani menoleh.

“Mau aku bantu membawakan tas kerjamu?” Adit menawarkan dengan hati-hati.

“Nggak,” jawab Fika, lebih ketus daripada yang dikehendakinya.

Adit tidak berkata-kata lagi. Diikutinya Fika dalam diam.

Di lantai atas, lagi-lagi Fika mendapati ruangan luas yang bisa dijadikan tempat alternatid berkumpul dengan keluarga. Ruangan ini dilengkapi dengan bukaan, jendela-jendela lebar, serta teras, sehingga membuat ruangan tampak terang dan sehat berkat sirkulasi udara yang lancar. Tidak ingin membuang waktu, Fika meletakkan tas kerjanya di lantai, dan mulai membidikkan kameranya, tanpa bicara sepatah kata pun. Usai memotret kamar tidur utama, Fika menghela napas panjang. “Selesai,” katanya dengan lega.

“Hmm..., Fika,” Adit melirik Fika dengan canggung. “Kamu udah makan siang?” Jantungnya berdebar penuh harap. “Nggak jauh dari sini ada restoran yang enak dan nyaman.”

“Makasih.” tukas Fika sambil memasukkan digital camera-nya ke tas kerja. “Aku harus segera pulang.”

“Mau aku antar?” tanya Adit setelah terdiam sejenak.

“Nggak usah repot-repot,” tolak Fika cepat. Ia mengeluarkan ponselnya dan men-dial perusahaan taksi langganannya sebelum Adit memaksanya untuk menerima tawarannya. “Aku bisa memesan taksi.”

Rasa kecewanya menggumpal, hingga menyesakkan dada Adit. Tanpa berkata-kata lagi, ia memutar tubuhnya, dan mendahului Fika turun ke lantai bawah.

Fika menjauhkan ponsel dari telinganya dengan gelisah. Operator perusahaan taksi sudah mengatakan akan segera mengirim taksi untuk menjemputnya. Namun, Fika tahu, tidak mungkin taksi itu akan muncul dalam sepuluh menit. Fika mendesah resah. Seandainya saja mobilnya tidak ngadat lagi dan tidak harus menginap di bengkel, tentu ia dapat secepatnya pergi dari tempat ini. Dalam hati, Fika memaki kebodohannya. Seandainya ia sudah memesan taksi sejak setengah jam yang lalu, tentu ia tidak perlu terjebak lebih lama dengan lelaki ini. Dengan setengah putus asa, Fika meletakkan tas kerjanya pada anak tangga ketiga dari bawah, lalu mengempaskan tubuhnya.

“Oya, Fik,” Adit menyandarkan sisi tubuhnya pada railing, menghadap Fika. “Aku bisa minta tolong?”

Fika mendongak, menatap Adit dengan mata menyipit. Penuh antisipasi. “Apa?”

“Kamu bisa mengerjakan kamar tidur utama dulu?”

Fika menatap Adit dengan pandangan aneh. Permintaan Adit bukan masalah besar baginya. Namun, pasti ada sesuatu yang membuat lelaki ini memintanya mengerjakan kamar tidur utama terlebih dulu. “Kenapa?”

Adit mengangkat bahunya. “Aku nggak betah tinggal di hotel.”

Kedua alis Fika terangkat. “Di hotel...?”

Adit mengangguk sambil tersenyum canggung. “Aku memberikan rumah yang dulu–yang aku tempati bersama Lisa–padanya.”

“Harta gono-gini,” gumam Fika tanpa sadar, dan langsung menyesalinya.

Hening. Canggung.

Tanpa berkata-kata lagi, Fika menunduk dan mulai mengutak-atik ponselnya. Berpura-pura sibuk agar dapat menghindari pembicaraan mengenai kehidupan pribadi Adit. Ia sama sekali tidak ingin tahu apa yang terjadi pada pernikahan Adit, bahkan tidak peduli. Dan menghindari...

“Bagaimana dengan kamu, Fika? Udah berapa buntutmu?”

Fika mengeluh dalam hati. Ini dia yang ingin dihindarinya. Ia tidak ingin lelaki ini bertanya-tanya tentang kehidupan pribadinya. Fika mempertimbangkan sejenak, perlu tidaknya memberitahu lelaki ini. Mengingat bosnya adalah teman baik Adit, Fika memutuskan untuk mengatakannya saja. Bukan karena ia yakin Adit akan mengorek-ngorek kehidupan pribadinya dari Steve, ia hanya sekedar berjaga-jaga. Bagaimanapun juga, ketahuan berbohong hanya akan membuatnya malu. “Satu,” jawabnya tanpa menatap Adit.

“Perempuan? Laki-laki?”

Kening Fika berkerut saat menangkap nada antusias pada suara lelaki itu. “Perempuan.”

“Aku selalu ingin punya anak perempuan.” Adit menghela napas berat. “Sayang, Lisa nggak suka anak kecil.” Suaranya sarat kesedihan dan kekecewaan.

Seluruh darah yang mengaliri tubuh Fika seakan membeku. Ia menundukkan wajahnya semakin dalam. Berusaha membunyikan keresahannya dari pandangan Adit. Untunglah sebelum lelaki itu sempat bertanya-tanya lagi, ponselnya berdering.

Adit merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya, dan melirik sekilas layarnya. “Bentar ya, Fika.” Ia melangkah menjauhi Fika.

Fika mengangguk, lalu menghela napas lega. Ia mengambil kembali camera digital-nya dan mengamati gambar-gambar yang baru diambilnya tadi. Mengira-ngira apa yang akan dilakukannya pada setiap ruangan di dalam gambar–apabila ia yang mendekornya. Imajinasi berkelebat di dalam benaknya. Dalam sekejap, keasyikannya bermain dengan imajinasi membuatnya lupa pada sekitarnya. Suara langkah kaki yang tertangkap oleh telinganya, mengusik keasyikannya. Mengingatkannya bahwa ada orang lain yang sedang bersamanya.

“Maaf, agak lama meninggalkan kamu.”

Fika bergeming. Matanya tetap terpaku pada layar kameranya seakan tidak mendengar ucapan Adit. Adit menghela napas berat, lalu kembali menyandarkan sisi tubuhnya pada railing. Diam-diam ia mengamati perempuan yang tampak tenggelam dalam keasyikannya itu. Walaupun tidak melihat, Fika dapat merasakan mata lelaki itu mengarah padanya. Tatapan yang–tanpa dikehendakinya–membuat jantungnya berdebar resah. Fika menundukkan wajahnya sedalam mungkin, berusaha menyembunyikan wajahnya yang–di luar kehendaknya–menghangat.

Suara ketukan pada pintu mengejutkan Adit dan Fika. Serentak, mereka menoleh ke pintu masuk, dan melihat seorang lelaki setengah baya berseragam berdiri di sana. Fika menghela napas lega. Untunglah, taksi pesanannya sudah datang. Ia tidak tahu, berapa lama lagi ia bisa menyembunyikan keresahannya dari pandangan Adit.

“Selamat sore, saya mencari Ibu Fika.”

Sigap, Fika menyambar tas kerjanya dan beranjak. “Iya, Pak. Saya sendiri.” Tanpa menoleh kepada Adit, apalagi berbasa-basi, ia bergegas menuruni anak tangga yang tersisa dan melangkah menyeberangi ruangan.

Adit mengantarkan Fika hingga ke tempat taksi diparkirkan. “Hubungi aku kalau kamu perlu seseuatu.”

Fika hanya mengangguk tak acuh, lalu masuk ke taksi.

“Oya, tunggu sebentar,” Adit merogoh saku celananya dan mengeluarkan serenceng kunci. “Ini kunci rumahku.”

Fika menerima kunci yang dijulurkan padanya tanpa berkata-kata, membiarkan Adit menutup pintu taksi untuknya, dan langsung menyebutkan alamatnya pada sopir taksi.

Adit memandangi taksi yang mulai melaju menjauhi tempatnya berdiri itu, hingga menghilang di belokan jalan. Adit mendesah sedih, lalu memutar tubuhnya, dan melangkah lesu menyeberangi pekarangan.


###

Minggu, Januari 08, 2012

Promises, Promises (Bab 01-A)

Diposting oleh Ria Primadiharti di 9:30:00 AM 0 komentar

”SEPERTINYA, ini alamat yang Ibu cari.”

Fika menoleh ke arah sopir taksi. Menatapnya sesaat, lalu mengalihkan pandangannya mengikuti arah pandang lelaki muda itu. Matanya menangkap nomor rumah yang tertempel pada kotak pos di pagar. Nomor 42A. ”Iya, Pak. Benar.” Fika mengeluarkan dompet dari dalam tas tangannya, melirik argo, lalu menyerahkan sejumlah uang. ”Ambil saja kembaliannya, Pak.”

Tanpa membalas ucapan terima kasih sopir taksi, Fika membuka pintu, lalu melompat keluar. Dengan langkah panjang-panjang, ia menghampiri pagar besi setinggi dada dan berusaha membuka pintunya. Terkunci. Dengan cepat, Fika menyapukan pandangan untuk mencari bel rumah. Tatapan matanya tertumbuk pada benda kecil yang menempel pada tembok pagar. Fika menekannya dengan ujung jari, lalu menunggu...

Sepi. Tidak ada tanda-randa kehidupan di dalam rumah.

Fika melirik jam tangannya dengan gelisah. Steve–bosnya–mengatakan, kliennya akan menemuinya di tempat ini pukul 12.30. Ia hanya terlambat lima menit–yang tentunya, masih bisa termasuk dalam kategori 'dimaafkan'. Fika memutar tubuhnya dan melangkah ke tepi jalan. Menatap jalan sepi di depan rumah dengan satu tangan di pinggul, dan ujung sepatu diketuk-ketukkan ke aspal. Desah tak sabar pun keluar dari bibirnya.

Seharusnya ia sudah menduga hal seperti ini akan terjadi begitu bosnya memberi tahu siapa kliennya–Lisa, bintang film dan artis sinetron ibu kota yang cantik. Ia sudah sering mendengar bahwa kebanyakan artis tidak pernah tepat waktu, apalagi artis sekelas Lisa. Seandainya saja suami Lisa bukan teman Steve, ia tidak akan terburu-buru meninggalkan proyek yang sedang dikerjakannya. Padahal pekerjaannya sudah hampir selesai. Untunglah, Bu Martha–kliennya–tidak keberatan, dan setuju saja saat ia berkata akan menyelesaikan pekerjaannya esok pagi.

Fika merogoh tas tangannya, mengeluarkan ponsel. Setelah menemukan nama kliennya pada phonebook, ia men-dial-nya.

“Halo...?”

Kening Fika berkerut begitu mendengar suara berat dan dalam seorang lelaki menyapa. Bukankah menurut bosnya, nomor telepon ini milik Lisa? Atau, lelaki ini manager artis itu. Bukankah semua artis memiliki manager? “Selamat sore, Pak. Saya interior designer D'Zire. Saya...”

“Oh, maaf, maaf,” potong lelaki itu segera. “Saya mendadak ada urusan penting, jadi agak terlambat meninggalkan kantor. Tapi jangan khawatir, saya sudah di jalan. Kira-kira lima belas atau dua puluh menit lagi saya sampai.”

Fika memutar bola matanya, kesal. “Baik, Pak. Saya tunggu.”

Fika memasukkan kembali ponselnya ke tas tangan, lalu menyapukan pandangan ke sekeliling. Apa yang harus dilakukannya untuk mengisi waktu? Setelah termenung sesaat, ia memutuskan untuk melihat-lihat bagian luar rumah kliennya.

Fika menelusuri trotoar, mengikuti pagar rumah yang terletak di hook itu. Matanya mengamati bentuk geometris bangunannya dari balik pagar besi. Secara estetika, rumah dua lantai ini terlihat atraktif. Apalagi didukung dengan wajah rumah yang bisa dipandang dari dua sisi jalan. Tampil dengan gaya modern minimalis di tengah lingukngan Mediterania, justru membuat rumah ini menjadi sangat eye catching. Fasad rumah terlihat dinamis dengan permainan massa kubus yang mendominasi. Aplikasi tonjolan, cerukan, serta variasi material, berhasil memperindah tampilan bangunan.. Fasad rumah juga tampil menarik dengan penggunaan material batu dan deretan bilah besi horizontal sebagai secondary skin.Pilihan material yang kemtal dengan nuansa alami tampak pada penggunaan batu alam hitam susun sirih pada dinding fasad depan. Mau tak mau, tampilan rumah ini membuat Fika terkejut. Dari penampilan Lisa, yang sering dilihatnya di layar kaca, ia selalu menyangka perempuan itu memiliki karakter sangat feminin dan glamour. Dalam bayangannya, rumah yang disukai Lisa pastilah jenis rumah bergaya Mediterania seperti kebanyakan rumah di lingkungan ini. Menurutnya, rumah ini cenderung maskulin. Bahkan lansekapnya pun terkesan cukup maskulin. Dengan beberapa pohon palem ditanam di sisi pagar besi, dan hamparan rumput jepang yang menutupi seluruh bagian pekarangan. Tanaman semak kucai dan sutra bombai yang turut menghias pekarangan, memang membuat lansekap tampil lebih cantik, tetapi semuanya seba hijau. Sewarna. Fika sama sekali tidak menemukan adanya bunga hias di sana. Tidak ada kesan ceria yang feminin. Puas melihat-lihat, Fika kembali melirik jam tangannya. Tak terasa dua puluh menit tela berlalu. Fika melangkah kembali ke depan rumah. Belum ada tanda-tanda kehadiran Lisa. Fika mendengus kesal. Menunggu bukanlah hal favoritnya, justru sebaliknya. Ia sangat sebal jika harus menunggu. Juga tidak suka membuat orang lain menunggu. Kalau saja tak ingat bahwa klien ini teman baik bosnya, ia pasti sudah meninggalkan tempat ini dan membuat janji temu untuk lain waktu.

Fika menghampiri pohon sawo besar, berlindung dari sengatan sinar matahari di bawahnya. Ia meletakkan tas kerjanyadi sela-sela akar pohon yang bertonjolan, llau menyandarkan punggungnya. Digerak-gerakkan kakinya bergantian, mencoba melemaskan otot-ototnya yang terasa kaku akibat terlalu banyak berdiri. Dalam hati ia menyesali pilihan busananya hari ini–kemeja putih bergaris abu-abu, dan rok pencil abu-abu. Kalau saja ia mengenakan celana panjang, mungkin ia dapat duduk dengan nyaman di rumput.

Deru mobil yang tertangkap oleh telinganya, membuat Fika menoleh. Sebuah Z4 Roadster silver mendekat. Harapannya tumbuh saat melihat mobil itu memperlambat lajunya. Begitu mobil itu berbelok ke jalan masuk rumah dan berhenti, Fika menghela napas lega. Akhirnya, kliennya datang juga–keningnya berkerut–atau hanya manager-nya? Sepertinya, ia hanya melihat bayangan satu orang di dalam mobilitu. Yah, tak mengapalah. Mungkin, manager Lisa memang tahu pasti apa yang diinginkan oleh perempuan itu.

Fika segera menyambar tas kerjanya dan menghampiri mobil anggun tersebut. Pintu mobil terbuka dan seorang laki-laki berkacamata turn. Langkah kaki Fika terhenti seketika. Tubuhnya membeku, dan jantungnya seakan berhenti berdetak. Ia menatap lelaki itu dengan mata terbelalak lebar dan mulut setengah terbuka. Tak mungkin! Ini tidak mungkin! Tidak mungkin lelaki itu!

Lelaki itu balas menatap Fika dari balik kacamata tanpa bingkainya. Matanya nanar. Selama beberapa saat mereka hanya saling memandang, tanpa bias berkata-kata. Fika memejamkan matanya sesaat, berharap bayangan lelaki itu segera menghilang. Berharap semua ini hanya ilusi. Namun, saat ia kembali membuka mata, sosok itu masih ada di hadapannya. Masih menatapnya dengan pandangan kosong. Napasnya tercekat di tenggorok. Tidak! Ini tidak mungkin! Yang berdiri di hadapannya, pasti bukan lelaki itu.

Lelaki dari masa lalunya.

Pasti hanya sekadar mirip, Fika menghibur diri. Kemiripan yang, kalian bias tambahkan, nyaris sempurna; garis rahang yang tegas, dagu yang kokoh, hidung yang tak mancung, bibir tipis yang maskulin, serta sepasang alis tebal yang menaungi matanya yang memicing. Ya Tuhan. Semuanya begitu mirip. Fika enyipitkan matanya, ingin melihat warna mata lelaki itu. Namun, jarak membuatnya tak dapat melihat dengan jelas. Dalam hati Fika berharap lelaki ini tidak memiliki warna mata yang sama dengan lelaki yang dikenalnya. Fika melanjutkan pengamatannya. Bahkan rambut bergelombangnya yang berwarna cokelat gelap begitu mirip. Tetapi lelaki ini lebih tinggi, lebih berisi. Bahunya lebih lebar dan kokoh, dengan dada bidang yang tidak bias disembunyikan oleh kemeja tosca yang dikenakannya. Tidak. Ia pasti salah. Lelaki ini hanya mirip dengan Adit. Lagi pula lelaki ini memiliki kedewasaan dan karisma yang tidak dimiliki Adit. Ditambah lagi, lelaki ini berkacamata–yah, walaupun hal terakhir ini terasa tidk cukup relevan.

Tanpa melepaskan pandangannya dari Fika, lelaki itu memperbaiki letak kacamatanya. “Fika…?”

Ucapan yang keluar dari mulut lelaki itu bagai gelegar halilintar di telinga Fika. Membuat wajahnya pucat pasi seketika. Tubuhnya gemetar. Kalau lelaki ini bukan lelaki yangdikenalnya, bagaimana ia bisa mengetahui namanya? Mungkinkah Steve yang memberi tahu? Fika membasahi tenggoroknya yang terasa kering, ia lalu berusaha menggerakkan lidahnya dengan susah payah. “A…Adit?” tanyanya ragu. Menduga-duga.
 

Bright sunshine at blue sky.. Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea