Kamu tahu San Zhi? San Zhi adalah sebuah kota yang mati di negara Thailand. San Zhi sebenarnya indah, bertema futuristik, dan mewah, karena dulu San Zhi akan dijadikan tempat peristirahatan untuk orang-orang kaya di Thailand.
Namun, karena suatu hal, pembangunan di San Zhi terhenti. Banyak pekerja yang tewas tiba-tiba. Dan oleh karena itu, pemasukan dana untuk pembangunan juga berhenti. Kota tersebut akhirnya kosong. Menurut beberapa orang, terkadang masih terdengar suara-suara orang bekerja di sana, mungkin arwah para pekerja yang mati sia-sia.
Ify, Gabriel, Shilla, Rio, Cakka, dan Sivia adalah enam bersahabat. Mereka berenam menyukai tantangan. Makanya, ketika Sivia menemukan artikel di koran tentang petualangan di San Zhi, mereka langsung setuju. Tantangan itu bertajuk "Are You Brave?" itu diselenggarakan oleh salah satu perusahaan yang memproduksi hal-hal berbau mistik terbesar di dunia dan jika mereka berenam mampu bertahan di San Zhi selama satu minggu, mereka akan mendapatkan hadiah berupa jalan-jalan keliling Eropa satu bulan.
Tentu saja mereka berenam langsung sepakat pergi ke sana. Ify, yang sebenarnya penakut, sebenarnya dilarang ikut. Dia sampai ngambek tiga hari agar diizinkan ikut. "Shilla sama Via aja berani, masa gue enggak!?" itulah yang diucapkannya berkali-kali. Akhirnya Ify turut serta, dengan syarat harus benar-benar berani.
Hari pertama dan kedua di sana, tak ada yang aneh. Kesunyian mencekam karena memang di sana tidak ada orang lain. Hanya mereka berenam. Namun, memasuki hari ketiga, keanehan mulai terjadi. Dan semua keanehan itu membuat Ify harus pulang lebih dulu, ia benar-benar tidak tahan berada di sana.
###
Bukan cerita horor yang memuat mayat bergelimpangan, darah berserakan, dan jenis-jenis horor-psycho lainnya. Mungkin yang ada setan-setannya gitu kali yaa.
Ini cuma cerpen, tapi mungkin kalau saya ada ide bakal ada cerita selanjutnya, tapi beda judul gitu, tapi masih dalam lingkup TAoG(?) itu.
Tunggu terbitnya yaaa :D Kalo banyak yg minta nanti pasti cepetan dibuatin, haha
Makasih, wassalam :)
@rialohasarap
Clock
facebook site..
the story...
Popular Posts
linkwinklink!
Selasa, April 17, 2012
Kamis, Februari 16, 2012
Pentalogi 'Behind My Life' : Behind Ashilla's Life (Wish You Were Here)
Hanya fiktif belaka. Tapi dibuat dengan harapan agar kalian menghargai perasaan mereka. Enjoy read :)
###
Shilla menghela napas panjang dan berat saat membaca salah satu dari puluhan–atau mungkin ratusan–mention yang masuk di akun twitter-nya. Membuat dadanya sesak. Bahkan matanya sudah mulai berkabut, ingin menumpahkan cairan bening. Tapi sedetik kemudian ia menguatkan hatinya. Ini bukan yang pertama baginya. Ia sudah sering menerima mention-mention 'mengerikan' sebelum ini.
"Shillaaa, cepetan ganti bajuuu, bentar lagi kita take!" Teriakan Sivia mengagetkannya. Dengan terburu-buru, Shilla mengambil baju yang sudah disediakan dan masuk ke ruang ganti.
Yah, sebagai seorang entertainer ia harus bersikap profesional. Tidak membawa masalah pribadi dalam pekerjaan.
***
Shilla merebahkan tubuhnya di kasur. Rasa lelah akibat syuting sinetron terbarunya–bersama BLINK–masih betah menggelayutinya. Saat ini, ia membutuhkan suara berat dan nge-bass yang dirindukannya. Cepat-cepat gadis itu meraih BlackBerry-nya dan mencari-cari nomor telepon yang dibutuhkannya.
Sedetik kemudian ia meloncat bangun dari tempat tidur. Panik. Kenapa nomor itu tidak ada? Ia tidak merasa pernah menghapus nomor cowok itu dari kontak teleponnya. Akhirnya ia memutuskan mencari satu per satu dari ratusan kontak di BlackBerry-nya. Saat menemukan nomor yang dicarinya, ia merasakan dingin menjalari tubuhnya.
Ia memang tidak menghapus nomor itu, hanya mengganti namanya. Yah, menggantinya menjadi The Ex. Satu keadaan yang membuat Shilla menyadari bahwa ia mungkin tidak akan pernah lagi mendengar suara berat itu bernyanyi untuknya.
Karena bosan–dan sedih, Shilla memutuskan meraih iPod-nya, memutar musik secara acak dan memejamkan matanya. Namun ketika memasuki lagu kedua, matanya langsung terbuka. Count on Me milik Bruno Mars yang di-cover oleh cowok itu langsung membuat Shilla merasakan sesak di dadanya. Lagi-lagi matanya berkabut. Setetes air mengalir dari sana, membuat Shilla langsung menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. Bahunya bergetar.
Ia merindukan cowok itu.
Ia merindukan Cakka.
***
Menjalani hubungan selama lebih dari dua tahun tidak semudah kelihatannya. Apalagi long distance relationship seperti ini. Ada saja gosip miring yang membuat dua sejoli ini merasakan keraguan pada sang pasangan. Tapi mereka sudah bisa mengatasi soal gosip itu. Tapi ada masalah yang lebih berat dan sepertinya sulit untuk diselesaikan.
Apa yang bisa kaulakukan jika orangtua pasanganmu tidak menyukaimu?
Tentu saja kau hanya diam. Tapi diam bisa saja semakin memperkeruh suasana. Jadi, yang bisa kau lakukan hanyalan berjuang agar kau mendapat 'restu'.
Tapi, sekeras apa pun usaha Shilla, ia selalu salah di mata orangtua orang yang disayanginya. Shilla tahu, sampai kapan pun beliau tidak akan pernah menyukainya. Namun, ia dan Cakka tetap saja bersikeras mempertahankan hubungan mereka.
Tapi semuanya berakhir beberapa bulan yang lalu.
Seiring berjalannya waktu, Shilla akhirnya bisa sedikit demi sedikit melupakan mantan-kekasihnya itu. Yah, dengan terpaksa membencinya. Ia tidak bisa benar-benar membenci cowok itu. Bagaimana pun, cowok itu cinta pertamanya. Dan bukan kah cinta pertama itu sulit dilupakan? Entah akhirnya meninggalkan kebahagiaan atau sebaliknya.
***
Shilla memandangi bayangannya di cermin lalu mendecak sebal. Ia selalu bertanya-tanya, sebenarnya apa yang tak disukai orang-orang–terlebih para haters-nya–terhadap dirinya? Sebisa mungkin ia bersikap baik kepada semua orang. Menyapa para fans-nya, tersenyum ramah pada semua orang, misalnya.
Atau gaya berpakaiannya?
Yaa, ia pun mengakui kalau ia berpakaian 'sedikit terbuka' di tempat umum. Tapi apakah orang-orang itu tidak mengerti 'resiko pekerjaan'? Apakah kalau ia bukan 'artis' ia akan dikecam seperti itu? Hidup sebagai artis memang serba salah. Percayalah akan hal itu.
Atau cara bicaranya yang blak-blakan?
Kalau para haters-nya itu perempuan, seharusnya mereka mengerti. Bukankah perempuan suka bertindak out-of-control kalau sedang depresi? Oh, mungkin ia memang sedikit keterlaluan sewaktu menulis tweet tentang tips berdasarkan pengalamannya waktu itu, tapi ia pernah melihat seseorang sampai menyumpahi mantannya. Itu lebih kejam, bukan? Yah, lagi-lagi karena ia adalah artis. Sedikit saja kesalahannya, pasti digembor-gemborkan hingga akhirnya seluruh dunia tahu. Penting kah hal itu? Dari pada mengurusi kehidupan pribadinya, lebih baik orang-orang itu mengurusi kehidupan mereka sendiri–yang belum tentu lebih baik dari dirinya–kan?
Tenggorokan Shilla terasa tercekat. Tapi gadis itu segera menarik napas panjang dan mengembuskannya lewat mulut. Ia sudah bertahun-tahun hidup dengan ratusan–atau bahkan ribuan–orang yang membencinya, dan ia tak pernah terlalu tertekan. Jadi, ia pasti akan baik-baik saja.
***
Oh, damn.
Ternyata fans-nya juga tidak sepenuhnya menjaga nama baiknya.
Baru saja ada mention di akun twitter-nya. Mention pengaduan. Pengaduan dari salah satu anggota fansclub sahabatnya, Ify. Bocah itu mengadu tentang kelakuan beberapa fans-nya yang menjelek-jelekkan Ify.
Kenapa harus seperti ini? batinnya.
Shilla dan Ify adalah sahabat. Seharusnya para fans mereka juga bersahabat. Bukan saling menjelekkan seperti ini. Sadar kah mereka bahwa kelakuan mereka justru menambah beban pikiran Shilla?
Akhirnya ia memutuskan untuk meminta maaf kepada bocah itu. Atas nama Shivers.
***
"Fy, denger-denger lo dapet surat dari haters lo, ya?" tanya Pricilla di sela-sela latihan mereka sore itu.
Ify hanya menanggapi dengan tertawa.
Shilla jadi merasa tertarik dengan percakapan mereka. "Oh, ya? Suratnya gimana, Fy?" tanyanya.
Kali ini Ify tersenyum. "Dia cuma protes kok. Katanya anak IFC ngadu ke elo, kalo Shivers tu ngejelekin gue. Yah, gitu deh, Shil."
Shilla menghela napas panjang dan berat. "Sori ya, Fy. Gue berasa jadi nyokap yang nggak bisa ngedidik anak-anaknya dengan baik."
Ify masih tersenyum. "No problem, Shilla. Everything gonna be okay. Gue nggak terlalu mikirin kok. Gue juga minta maaf ya, kalo seandainya ada IFC yang jelekin elo.."
Shilla ikut tersenyum. Ia lalu memeluk Ify. Mengucapkan terima kasih.
"Kok malah pada pelukan, sih? Nggak usah dipikirin lah apa kata haters, soalnya apa aja yang kita lakuin pasti masalah buat mereka. Berasa penting banget ngurusin kehidupan kita, ya gak?" timpal Sivia yang disetujui oleh yang lain.
Sore itu pun mereka berlatih penuh tawa seperti biasa.
***
Cewek mana yang nggak nyesek kalau baca ulang kata-kata manis dari sang mantan?
Airmata itu kembali mengalir di wajah Shilla. Rasanya bosan juga kalau tiap malam harus menangis. Tapi mau bagaimana lagi? Semua kesesakan itu tak bisa lagi disimpannya. Semua kasih sayang, perhatian, hinaan, desakan, caci-maki, dan segala yang meresahkan hidupnya seakan-akan membuatnya tak bisa lagi terlihat biasa-biasa-saja. Ia hanya makhluk Tuhan yang lemah dan tak berdaya, yang tak bisa terus-terusan tabah menerima semua cobaan dari-Nya. Ia tak setegar kelihatannya.
Terkadang, memang terlintas pikiran untuk benar-benar menghilang. Tapi begitu mengingat ia masih bisa bertahan, pikiran itu ditendangnya jauh-jauh. Ia tak akan menyerah. Sekeras apa pun orang-orang menghujatnya, ia tetap akan diam. Percuma saja dilawan, mereka akan tambah senang.
Shilla masih mempunyai teman-teman yang menyayanginya, baik di sekolah maupun di BLINK. Oh, ya juga masih mempuyai SHIVERS. Ia percaya, Shivers tetap akan mendukungnya, bagaimana pun keadaannya.
Dan jika Shivers berharap dirinya terus berkarya dalam keadaan sepahit apapun, ia juga mempunyai harapan untuk Shivers.
Semoga Shivers selalu bersamanya dan menjaga nama baiknya.
###
###
Shilla menghela napas panjang dan berat saat membaca salah satu dari puluhan–atau mungkin ratusan–mention yang masuk di akun twitter-nya. Membuat dadanya sesak. Bahkan matanya sudah mulai berkabut, ingin menumpahkan cairan bening. Tapi sedetik kemudian ia menguatkan hatinya. Ini bukan yang pertama baginya. Ia sudah sering menerima mention-mention 'mengerikan' sebelum ini.
"Shillaaa, cepetan ganti bajuuu, bentar lagi kita take!" Teriakan Sivia mengagetkannya. Dengan terburu-buru, Shilla mengambil baju yang sudah disediakan dan masuk ke ruang ganti.
Yah, sebagai seorang entertainer ia harus bersikap profesional. Tidak membawa masalah pribadi dalam pekerjaan.
***
Shilla merebahkan tubuhnya di kasur. Rasa lelah akibat syuting sinetron terbarunya–bersama BLINK–masih betah menggelayutinya. Saat ini, ia membutuhkan suara berat dan nge-bass yang dirindukannya. Cepat-cepat gadis itu meraih BlackBerry-nya dan mencari-cari nomor telepon yang dibutuhkannya.
Sedetik kemudian ia meloncat bangun dari tempat tidur. Panik. Kenapa nomor itu tidak ada? Ia tidak merasa pernah menghapus nomor cowok itu dari kontak teleponnya. Akhirnya ia memutuskan mencari satu per satu dari ratusan kontak di BlackBerry-nya. Saat menemukan nomor yang dicarinya, ia merasakan dingin menjalari tubuhnya.
Ia memang tidak menghapus nomor itu, hanya mengganti namanya. Yah, menggantinya menjadi The Ex. Satu keadaan yang membuat Shilla menyadari bahwa ia mungkin tidak akan pernah lagi mendengar suara berat itu bernyanyi untuknya.
Karena bosan–dan sedih, Shilla memutuskan meraih iPod-nya, memutar musik secara acak dan memejamkan matanya. Namun ketika memasuki lagu kedua, matanya langsung terbuka. Count on Me milik Bruno Mars yang di-cover oleh cowok itu langsung membuat Shilla merasakan sesak di dadanya. Lagi-lagi matanya berkabut. Setetes air mengalir dari sana, membuat Shilla langsung menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. Bahunya bergetar.
Ia merindukan cowok itu.
Ia merindukan Cakka.
***
Menjalani hubungan selama lebih dari dua tahun tidak semudah kelihatannya. Apalagi long distance relationship seperti ini. Ada saja gosip miring yang membuat dua sejoli ini merasakan keraguan pada sang pasangan. Tapi mereka sudah bisa mengatasi soal gosip itu. Tapi ada masalah yang lebih berat dan sepertinya sulit untuk diselesaikan.
Apa yang bisa kaulakukan jika orangtua pasanganmu tidak menyukaimu?
Tentu saja kau hanya diam. Tapi diam bisa saja semakin memperkeruh suasana. Jadi, yang bisa kau lakukan hanyalan berjuang agar kau mendapat 'restu'.
Tapi, sekeras apa pun usaha Shilla, ia selalu salah di mata orangtua orang yang disayanginya. Shilla tahu, sampai kapan pun beliau tidak akan pernah menyukainya. Namun, ia dan Cakka tetap saja bersikeras mempertahankan hubungan mereka.
Tapi semuanya berakhir beberapa bulan yang lalu.
Seiring berjalannya waktu, Shilla akhirnya bisa sedikit demi sedikit melupakan mantan-kekasihnya itu. Yah, dengan terpaksa membencinya. Ia tidak bisa benar-benar membenci cowok itu. Bagaimana pun, cowok itu cinta pertamanya. Dan bukan kah cinta pertama itu sulit dilupakan? Entah akhirnya meninggalkan kebahagiaan atau sebaliknya.
***
Shilla memandangi bayangannya di cermin lalu mendecak sebal. Ia selalu bertanya-tanya, sebenarnya apa yang tak disukai orang-orang–terlebih para haters-nya–terhadap dirinya? Sebisa mungkin ia bersikap baik kepada semua orang. Menyapa para fans-nya, tersenyum ramah pada semua orang, misalnya.
Atau gaya berpakaiannya?
Yaa, ia pun mengakui kalau ia berpakaian 'sedikit terbuka' di tempat umum. Tapi apakah orang-orang itu tidak mengerti 'resiko pekerjaan'? Apakah kalau ia bukan 'artis' ia akan dikecam seperti itu? Hidup sebagai artis memang serba salah. Percayalah akan hal itu.
Atau cara bicaranya yang blak-blakan?
Kalau para haters-nya itu perempuan, seharusnya mereka mengerti. Bukankah perempuan suka bertindak out-of-control kalau sedang depresi? Oh, mungkin ia memang sedikit keterlaluan sewaktu menulis tweet tentang tips berdasarkan pengalamannya waktu itu, tapi ia pernah melihat seseorang sampai menyumpahi mantannya. Itu lebih kejam, bukan? Yah, lagi-lagi karena ia adalah artis. Sedikit saja kesalahannya, pasti digembor-gemborkan hingga akhirnya seluruh dunia tahu. Penting kah hal itu? Dari pada mengurusi kehidupan pribadinya, lebih baik orang-orang itu mengurusi kehidupan mereka sendiri–yang belum tentu lebih baik dari dirinya–kan?
Tenggorokan Shilla terasa tercekat. Tapi gadis itu segera menarik napas panjang dan mengembuskannya lewat mulut. Ia sudah bertahun-tahun hidup dengan ratusan–atau bahkan ribuan–orang yang membencinya, dan ia tak pernah terlalu tertekan. Jadi, ia pasti akan baik-baik saja.
***
Oh, damn.
Ternyata fans-nya juga tidak sepenuhnya menjaga nama baiknya.
Baru saja ada mention di akun twitter-nya. Mention pengaduan. Pengaduan dari salah satu anggota fansclub sahabatnya, Ify. Bocah itu mengadu tentang kelakuan beberapa fans-nya yang menjelek-jelekkan Ify.
Kenapa harus seperti ini? batinnya.
Shilla dan Ify adalah sahabat. Seharusnya para fans mereka juga bersahabat. Bukan saling menjelekkan seperti ini. Sadar kah mereka bahwa kelakuan mereka justru menambah beban pikiran Shilla?
Akhirnya ia memutuskan untuk meminta maaf kepada bocah itu. Atas nama Shivers.
***
"Fy, denger-denger lo dapet surat dari haters lo, ya?" tanya Pricilla di sela-sela latihan mereka sore itu.
Ify hanya menanggapi dengan tertawa.
Shilla jadi merasa tertarik dengan percakapan mereka. "Oh, ya? Suratnya gimana, Fy?" tanyanya.
Kali ini Ify tersenyum. "Dia cuma protes kok. Katanya anak IFC ngadu ke elo, kalo Shivers tu ngejelekin gue. Yah, gitu deh, Shil."
Shilla menghela napas panjang dan berat. "Sori ya, Fy. Gue berasa jadi nyokap yang nggak bisa ngedidik anak-anaknya dengan baik."
Ify masih tersenyum. "No problem, Shilla. Everything gonna be okay. Gue nggak terlalu mikirin kok. Gue juga minta maaf ya, kalo seandainya ada IFC yang jelekin elo.."
Shilla ikut tersenyum. Ia lalu memeluk Ify. Mengucapkan terima kasih.
"Kok malah pada pelukan, sih? Nggak usah dipikirin lah apa kata haters, soalnya apa aja yang kita lakuin pasti masalah buat mereka. Berasa penting banget ngurusin kehidupan kita, ya gak?" timpal Sivia yang disetujui oleh yang lain.
Sore itu pun mereka berlatih penuh tawa seperti biasa.
***
Cewek mana yang nggak nyesek kalau baca ulang kata-kata manis dari sang mantan?
Airmata itu kembali mengalir di wajah Shilla. Rasanya bosan juga kalau tiap malam harus menangis. Tapi mau bagaimana lagi? Semua kesesakan itu tak bisa lagi disimpannya. Semua kasih sayang, perhatian, hinaan, desakan, caci-maki, dan segala yang meresahkan hidupnya seakan-akan membuatnya tak bisa lagi terlihat biasa-biasa-saja. Ia hanya makhluk Tuhan yang lemah dan tak berdaya, yang tak bisa terus-terusan tabah menerima semua cobaan dari-Nya. Ia tak setegar kelihatannya.
Terkadang, memang terlintas pikiran untuk benar-benar menghilang. Tapi begitu mengingat ia masih bisa bertahan, pikiran itu ditendangnya jauh-jauh. Ia tak akan menyerah. Sekeras apa pun orang-orang menghujatnya, ia tetap akan diam. Percuma saja dilawan, mereka akan tambah senang.
Shilla masih mempunyai teman-teman yang menyayanginya, baik di sekolah maupun di BLINK. Oh, ya juga masih mempuyai SHIVERS. Ia percaya, Shivers tetap akan mendukungnya, bagaimana pun keadaannya.
Dan jika Shivers berharap dirinya terus berkarya dalam keadaan sepahit apapun, ia juga mempunyai harapan untuk Shivers.
Semoga Shivers selalu bersamanya dan menjaga nama baiknya.
###
Kamis, Januari 12, 2012
Promises, Promises (Bab 01-B)
“YA, Tuhan. Fika!” Mata lelaki itu melebar. Cepat, ia menutup pintu, lalu memutari mobilnya, dan menghampiri Fika.
Wajah Fika semakin pias. Jantungnya kini berdetak cepat. Tubuhnya mulai gemetar. Ternyata lelaki ini benar-benar Adit! Lelaki yang pernah menjadi bagian dari masa remajanya itu, kini berada di hadapannya. Lelaki yang pernah begitu dicintainya, tapi tega meninggalkannya dalam ketidakberdayaan. Lelaki yang begitu ingin dilupakannya. Lelaki yang begitu ingin dibencinya. Satu-satunya manusia yang tidak ingin ditemuinya lagi–seumur hidupnya. Rupanya, harapannya tidak terkabul. Tanpa sadar Fika melangkah mundur, menjauhi Adit yang telah berdiri di hadapannya.
“Apa kabar, Fika?”
Fika menundukkan pandangannya, menatap tangan yang terjulur di hadapannya dengan pandangan kosong. Masih sulit baginya untuk memercayai kenyataan yang terhampar di depan mata. Fika meremas tali tas kerjanya dengan resah. “Baik,” gumamnya dengan suara mengambang, tanpa menyambut jabat tangan Adit.
Adit menarik kembali tangannya yang hanya tergantung canggung di udara. Ditatapnya Fika dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. “Udah lama sekali kita nggak ketemu,” katanya setelah terdiam sejenak.
Perlahan, Fika mendongak, menatap langsung ke mata lelaki di hadapannya. Hatinya mencelos saat melihat warna bola mata lelaki di hadapannya. Cokelat muda dengan lingkaran kelabu di sekelilingnya. Jantung Fika berdetak semakin cepat. Secuil keraguan yang tersisa di hatinya musnah dalam sekejap. Kini ia seratus persen yakin lelaki di hadapannya ini adalah Adit. Adit yang bukan lagi seorang remaja. Aura kedewasaan dan karismatik yang kini dimilikinya membuat lelaki itu tampak semakin tampan. Fika menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan keresahannya. Berusaha menahan nyeri yang mulai merayapi hatinya saat koreng yang tertinggal di sana mulai terkelupas–satu per satu.
Fika menarik napas dalam-dalam, berusaha keras mengendalikan diri. Berusaha menetralisir rasa terkejut yang pasti terpeta jelas pada wajahnya. Berusaha menunjukkan ketidakpedulian meski ia mengenal lelaki ini. Berusaha menunjukkan bahwa tidak ada sesuatu yang istimewa yang pernah terjadi di antara mereka di masa lalu. Berusaha menampilkan sikap tenang dan formal yang selalu ditampilkannya pada klien. Hanya satu yang tidak bisa ditampilkannya pada klien yang satu ini; keramahan.
“Jadi, kamu desainernya D'Zire?” Adit menatap Fika dengan ekspresi tak percaya.
Dengan gerakan kaku, Fika menganggukkan kepala. “Dan, kamu manager-nya Lisa?”
Kedua alis Adit terangkat. “Manager Lisa..?” Perlahan, senyum samar menghias wajahnya. “Bukan, aku... suaminya.” Adit merendahkan tatapannya, “atau, lebih tepat jika disebut calon mantan suami... Kami sedang dalam proses perceraian.”
Mata Fika kembali terbelalak. Tak percaya. Semua orang bahkan tahu, siapa Lisa–terutama para pecinta sinetron–dan betapa perempuan itu tidak suka kehidupan pribadinya menjadi santapan umum. Dan meskipun demikian, semua penduduk Indonesia pun tahu bahwa Lisa telah menikah beberapa tahun yang lalu, walaupun tidak ada yang tahu dengan siapa ia berumah tangga. Namun, siapa yang menyangka kalau suami artis terkenal itu adalah lelaki yang dikenalnya? Bahkan, lelaki yang pernah menjadi miliknya? Fika bingung saat sebuah perasaan aneh merambati hatinya. Perasaan yang tidak dipahaminya. Sebelum ia sempat menyelami perasaannya, sebuah pertanyaan melintas cepat di benaknya. Kalau rumah ini milik Lisa, lalu apa yang dilakukan Adit di tempat ini? Fika menghela napas panjang. Ah, sudahlah. Kedatangannya ke mari untuk bekerja, bukan untuk mengorek-ngorek kehidupan pribadi Adit dan artis terkenal itu. “Boleh aku melihat rumah kamu sekarang?”
Adit mengangguk sambil tersenyum canggung. Ia memutar tubuhnya dan melangkah menghampiri pagar. Membukanya, dan mempersilakan Fika masuk. Fika berjalan mendahului Adit, menyeberangi halaman yang telah tertata rapi. Mata Fika menyapu bangunan di hadapannya. Mengamati pintu dan jendela-jendela besat yang didesain secara khusus dari dekat. Semuanya terlihat alami dan menampilkan karakter kayu merbau yang kuat.
Adit mempercepat langkahnya, mendahului Fika. Ia menghampiri pintu depan dan membukanya. Tanpa menunggu dipersilakan lagi, Fika melangkah masuk. Sebuah ruang lapang dan tanpa isi langsung menyambutnya. Ternyata rumah ini tidak hanya didesain dengan cermat dari sisi luar saja, tetapi juga dalam penataan ruang, sistem pergerakan udara dan perolehan view dari dalam rumah. Penempatan innercourt dan voit di atas ruang keluarga menciptakan pertukaran udara secara maksimal. Fika menyukai apa yang dilihatnya. Rumah ini bagus, dan ia pasti akan senang mengerjakan dekornya. Sayang, ia tidak bisa meng-handle proyek ini–lebih tepatnya, tidak ingin. Sementara telinganya menangkap penjelasan Adit yang mengiringi langkahnya menelusuri setiap jengkal rumah, Fika sibuk mencari-cari alasan yang tepat untuk disampaikan pada Steve agar ia bisa mengalihkan proyek ini ke tangan interior designer lainnya.
“Sudah berapa lama kerja di D'Sire?”
“Dua tahun.”
“Kamu menyukai pekerjaanmu?”
“Begitulah,” jawab Fika tak acuh.
Adit menghela napas panjang. Rasa senang yang muncul saat mengetahui perempuan cantik ini adalah kekasih lamanya, musnah dalam sekejap. Rasa kecewa merayapi hati Adit, menyadari betapa dinging sikap Fika terhadapnya. “Menurut kamu, interior seperti apa yang paling cocok untuk rumah ini?”
Fika menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan yang tampak terang oleh cahaya matahari yang menyelinap masuk dari setiap jendela besar. Semua ruang di rumah ini didesain berskala besar dengan konsep terbuka, sehingga menciptakan komunikasi antar ruang. Beberapa ide melintas cepat di dalam benak Fika. Ide-ide yang ia yakin akan membuat rumah ini tampak semakin cantik. “Modern minimalis.” Fika menyelipkan seuntai rambut yang terlepas dari ikatannya ke belakang telinga, “Tapi aku rasa, modern minimalis nggak sesuai dengan karakter Lisa.”
“Apa urusannya dengan Lisa?”
Nada ketus di suara Adit membuat Fika terkejut. Cepat, ia menoleh pada lelaki di sisinya. Menatapnya penuh tanya.
“Bukannya ini rumah Lisa?”
“Bukan.” Adit memasukkan tangannya ke saku celananya sambil menghela napas berat. “Ini rumahku. Lisa sama sekali nggak tau soal rumah ini.” Suaranya melunak.
Sekarang Fika mengerti mengapa arsitektur bangunannya begitu jauh berbeda dengan karakter Lisa, dan mengapa Adit yang datang menemuinya. Mungkin Steve tidak tahu bahwa Adit telah berpisah dari Lisa, dan sepertinya bosnya itu mengira rumah ini masih milik keduanya.
“Jadi, kapan kamu bisa mulai mengerjakannya?”
Fika mengedikkan bahunya. “Aku harus melihat keseluruhan rumah dulu, memotret, dan mengukur.” Dengan enggan, ia membuka tas kerjanya dan mengeluarkan digital camera yang selalu dibawanya. “Tapi hari ini aku nggak bawa alat pengukur, jadi cukup mengambil beberapa gambar ruangan.”
Adit mengangguk setuju. “Kamu boleh melakukan apa saja. Semuanya aku serahkan padamu,” katanya kalem. “Bahkan, kalau ada ruangan yang ingin kamu bongkar, silakan saja. Nggak usah pikirkan soal budget.”
Hmm... tawaran yang amat menggiurkan! Jarang sekali ada klien yang memberi kebebasan penuh kepada Fika untuk memanifestasikan ide-idenya. Apalagi dengan budget tak terbatas. Kebanyakan dari mereka begitu cerewet dan ingin ikut campur. Tapi ya... memang itu hak mereka sebagai pemilik rumah dan uang. Dan sampai sejauh ini, sudah dapat dipastikan, proyek ini adalah proyek menyenangkan baginya–ia mengeluh dalam hati–dengan catatan; kalau bukan Adit kliennya. Tanpa berkata-kata lagi, Fika mulai mengambil gambar ruangan dengan digital camera-nya.
Adit mengamati Fika yang masih sibuk dengan digital camera-nya. Meski telah beberapa saat ia menemani perempuan ini berkeliling lantai dasar, namun hingga detik ini ia masih juga belum bisa memercayai penglihatannya. Fika benar-benar ada di dekatnya! Perempuan yang dicarinya bertahun-tahun yang lalu, tiba-tiba muncul di hadapannya! Adit tidak menyangka, pertemuan tak sengajanya dengan Steve–seorang teman lama saat kuliah–membawanya kepada perempuan yang amat dicintainya ini.
Adit menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu guestroom. Matanya menjelajahi sosok ramping di dalam ruangan, yang sedang asyik dengan kameranya itu, dengan tatapan penuh kerinduan. Napas Adit tertahan di tenggorok saat melihat jari lentik Fika menyelipkan seuntai rambut ke balik telinga. Jari-jari indah yang dulu sering digenggamnya. Rambut indah yang dulu sering dibelainya. Fika tampak begitu cantik dalam keanggunan dan kedewasaannya. Lebih cantik daripada yang diingatnya. Ya, ia tidak pernah bisa melupakan mata bulat yang jernih dengan bulu mata yang panjang dan lentik itu, hidung yang mancung itu, bibir yang berlekuk sempurna bagai busur panah itu, dan dagu yang lancip itu. Segala sesuatu yang amat disukainya dan amat dirindukannya dari perempuan ini. Adit menelan ludah, membasahi tenggoroknya yang terasa kering. “Kamu menyukai pekerjaanmu?”
“Menurutmu?”
Adit tersenyum canggung. “Dari dulu aku sudah menduga, suatu hari nanti kamu akan bekerja di bidang seni–entah sebagai pelukis, atau di bidang kreatif.” Adit mencoba mengabaikan sikap dingin Fika. “Bahkan, sampai sekarang pun aku masih ingat sketsa-sketsa yang kamu buat. Kamu memang berbakat.”
Ucapan Adit membuat darah Fika membeku. Ia tidak mengerti untuk apa Adit mengingatkannya pada kejadian yang telah lama berlalu? Apakah lelaki ini ingin mengulang kembali kebersamaan mereka dulu? Fika tersenyum sinis. Tidak. Itu tidak akan terjadi. Baginya, Adit adalah masa lalu. Dan, akan tetap begitu. Selamanya. “Aku nggak ingat soal itu,” jawabnya dingin. Bahkan tanpa mau susah payah mengalihkan pandangannya kepada Adit.
Adit tertegun mendengar sinisme yang tersirat pada suara Fika. Rasa kecewa semakin pekat menyelimutinya. Fika bersikap seakan dirinya tidak pernah menjadi bagian istimewa dalam hidup perempuan itu. Bahkan seakan tidak pernah mengenalnya. Sikap perempuan ini membuat dirinya merasa tak berarti. Merasa terbuang. Apakah Fika begitu sakit hati atas kebodohannya di masa lalu? Begitu besarkah kebencian Fika padanya? Adit menundukkan kepala, dan mendesah pelan. Ia tidak akan menyalahkan Fika jika perempuan itu membencinya. Semua memang kesalahannya.
Dari balik bulu matanya, Adit melihat Fika kembali bergerak. Perempuan itu melangkah mendekati pintu. Adit memiringkan tubuhnya, memberi ruang kepada Fika untuk lewat. Namun, ternyata ruang yang diberikannya tidak cukup luas, hingga tangan perempuan itu menggesek perutnya. Bibir Adit mengering seketika. Sentuhan itu sangat ringan,tetapi mampu menimbulkan getar samar di seluruh tubuhnya. Adit menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan diri, lalu kembali membuntuti Fika ke beranda belakang.
Diam-diam, Adit kembali menelurusi jari-jari panjang dan lentik Fika dengan matanya. Mencari benda bulat yang melingkari jari manis perempuan. Sebersit harapan muncul saat ia tidak menemukan cincin nikah di jari-jari indah perempuan itu. Tetapi, apa mungkin perempuan secantik Fika belum menikah? Atau, mungkin bernasib sama dengannya–sudah bercerai? Atau mungkin ia tidak suka mengenakan cincin nikahnya? Tapi, apakah dengan seperti itu suaminya tidak merasa cemas? Bukankah itu bagaikan umpan yang memancing para lelaki untuk mendekati istrinya? Ya, Tuhan. Begitu banyak pertanyaan yang ingin diajukannya. Semuanya sudah berkumpul di benaknya, berdesak-desakan. Namun, mengingat sikap dingin Fika, ia terpaksa menahan diri. Sepertinya ini bukan saat yang tepat. Mungkin–sama sepertinya–Fika pun masih amat terkejut dengan pertemuan yang tak terduga ini. Mungkin saat ini, perempuan itu ingin melampiaskan kemarahannya padanya. Kemarahan yang pasti sudah dipendamnya selama belasan tahun. Yah, ia bisa menerima sikap Fika, apa pun itu. Ia bisa mengerti. Apa yang dilakukannya dulu pasti amat menyakitkan perempuan itu. Amat melukainya. Tetapi, ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Adit berharap, suatu saat nanti, Fika mau mendengarkannya. Dan, mau memaafkannya.
Fika dapat merasakan mata Adit terus mengawasi semua geraknya. Dipandanginya diamkdiam oleh seorang lelaki, bukan hal baru bagi Fika. Banyak klien lelaki yang bersikap seperti itu.
Namun, kali ini berbeda. Tatapan lelaki itu membuatnya sulit untuk tetap bersikap tenang dan tak peduli. Mau tak mau hal ini sangat mengejutkannya. Tiga belas tahun sudah ia tidak bertemu Adit, tetapi ia tak menyangka lelaki ini masih memiliki pengaruh yang begitu kuat atas dirinya. Masih sanggup membuat jantungnya berdebar resah.
Fika menarik napas dalam-dalam untuk mengendalikan dirinya. Sebaiknya ia segera mengalihkan proyek ini pada rekan kerjanya yang lain. Ia tidak sanggup meneruskannya. Ia takut.... Takut tak dapat menguasai diri. Takut dinding yang melindungi hatinya roboh. Ia tidak ingin jatuh cinta lagi pada lelaki ini. Lelaki yang membuat hidupnya menderita, dan telah membuatnya tak percaya lagi pada cinta. Fika menurunkan digital camera-nya, menyelipkan seuntai rambut ke belakang telinganya, lalu mengalihkan pandangannya pada Adit. “Boleh lihat lantai dua?”
Adit mengangguk.
Fika menghampiri tangga yang dikonsep melayang hingga menciptakan garis lebih tegas dalam ruang. Tangga itu didukung dengan bahan kayu di atas balutan warna putih pada bagian struktur pijakan. Karena ingin menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin, terlalu sibuk mengendalikan rasa gugupnya, dan terburu-buru ingin menyelesaikan pekerjaannya, Fika jadi kurang berhati-hati. Hak sepatunya terpeleset. Ia limbung. Tubuhnya kehilangan keseimbangan. Dengan panik, Fika berusaha menggapai railing, tetapi kedua tangannya–yang sibuk memegang tas kerja dan digital camera–membuatnya tidak bisa menggapai railing. Ia tidak bisa menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Dalam keadaan semakin panih, Fika merasakan sepasang tangan besar dan kokoh menahan tubuhnya. Memegangi kedua pinggangnya dengan erat. Tangan Adit! Jantung Fika berdentam semakin liar. Terkejut oleh reaksi yang muncul saat merasakan tangan lelaki itu di tubuhnya, dan malu... membuat wajah Fika menghangat. “Makasih,” gumamnya, tanpa berani menoleh.
“Mau aku bantu membawakan tas kerjamu?” Adit menawarkan dengan hati-hati.
“Nggak,” jawab Fika, lebih ketus daripada yang dikehendakinya.
Adit tidak berkata-kata lagi. Diikutinya Fika dalam diam.
Di lantai atas, lagi-lagi Fika mendapati ruangan luas yang bisa dijadikan tempat alternatid berkumpul dengan keluarga. Ruangan ini dilengkapi dengan bukaan, jendela-jendela lebar, serta teras, sehingga membuat ruangan tampak terang dan sehat berkat sirkulasi udara yang lancar. Tidak ingin membuang waktu, Fika meletakkan tas kerjanya di lantai, dan mulai membidikkan kameranya, tanpa bicara sepatah kata pun. Usai memotret kamar tidur utama, Fika menghela napas panjang. “Selesai,” katanya dengan lega.
“Hmm..., Fika,” Adit melirik Fika dengan canggung. “Kamu udah makan siang?” Jantungnya berdebar penuh harap. “Nggak jauh dari sini ada restoran yang enak dan nyaman.”
“Makasih.” tukas Fika sambil memasukkan digital camera-nya ke tas kerja. “Aku harus segera pulang.”
“Mau aku antar?” tanya Adit setelah terdiam sejenak.
“Nggak usah repot-repot,” tolak Fika cepat. Ia mengeluarkan ponselnya dan men-dial perusahaan taksi langganannya sebelum Adit memaksanya untuk menerima tawarannya. “Aku bisa memesan taksi.”
Rasa kecewanya menggumpal, hingga menyesakkan dada Adit. Tanpa berkata-kata lagi, ia memutar tubuhnya, dan mendahului Fika turun ke lantai bawah.
Fika menjauhkan ponsel dari telinganya dengan gelisah. Operator perusahaan taksi sudah mengatakan akan segera mengirim taksi untuk menjemputnya. Namun, Fika tahu, tidak mungkin taksi itu akan muncul dalam sepuluh menit. Fika mendesah resah. Seandainya saja mobilnya tidak ngadat lagi dan tidak harus menginap di bengkel, tentu ia dapat secepatnya pergi dari tempat ini. Dalam hati, Fika memaki kebodohannya. Seandainya ia sudah memesan taksi sejak setengah jam yang lalu, tentu ia tidak perlu terjebak lebih lama dengan lelaki ini. Dengan setengah putus asa, Fika meletakkan tas kerjanya pada anak tangga ketiga dari bawah, lalu mengempaskan tubuhnya.
“Oya, Fik,” Adit menyandarkan sisi tubuhnya pada railing, menghadap Fika. “Aku bisa minta tolong?”
Fika mendongak, menatap Adit dengan mata menyipit. Penuh antisipasi. “Apa?”
“Kamu bisa mengerjakan kamar tidur utama dulu?”
Fika menatap Adit dengan pandangan aneh. Permintaan Adit bukan masalah besar baginya. Namun, pasti ada sesuatu yang membuat lelaki ini memintanya mengerjakan kamar tidur utama terlebih dulu. “Kenapa?”
Adit mengangkat bahunya. “Aku nggak betah tinggal di hotel.”
Kedua alis Fika terangkat. “Di hotel...?”
Adit mengangguk sambil tersenyum canggung. “Aku memberikan rumah yang dulu–yang aku tempati bersama Lisa–padanya.”
“Harta gono-gini,” gumam Fika tanpa sadar, dan langsung menyesalinya.
Hening. Canggung.
Tanpa berkata-kata lagi, Fika menunduk dan mulai mengutak-atik ponselnya. Berpura-pura sibuk agar dapat menghindari pembicaraan mengenai kehidupan pribadi Adit. Ia sama sekali tidak ingin tahu apa yang terjadi pada pernikahan Adit, bahkan tidak peduli. Dan menghindari...
“Bagaimana dengan kamu, Fika? Udah berapa buntutmu?”
Fika mengeluh dalam hati. Ini dia yang ingin dihindarinya. Ia tidak ingin lelaki ini bertanya-tanya tentang kehidupan pribadinya. Fika mempertimbangkan sejenak, perlu tidaknya memberitahu lelaki ini. Mengingat bosnya adalah teman baik Adit, Fika memutuskan untuk mengatakannya saja. Bukan karena ia yakin Adit akan mengorek-ngorek kehidupan pribadinya dari Steve, ia hanya sekedar berjaga-jaga. Bagaimanapun juga, ketahuan berbohong hanya akan membuatnya malu. “Satu,” jawabnya tanpa menatap Adit.
“Perempuan? Laki-laki?”
Kening Fika berkerut saat menangkap nada antusias pada suara lelaki itu. “Perempuan.”
“Aku selalu ingin punya anak perempuan.” Adit menghela napas berat. “Sayang, Lisa nggak suka anak kecil.” Suaranya sarat kesedihan dan kekecewaan.
Seluruh darah yang mengaliri tubuh Fika seakan membeku. Ia menundukkan wajahnya semakin dalam. Berusaha membunyikan keresahannya dari pandangan Adit. Untunglah sebelum lelaki itu sempat bertanya-tanya lagi, ponselnya berdering.
Adit merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya, dan melirik sekilas layarnya. “Bentar ya, Fika.” Ia melangkah menjauhi Fika.
Fika mengangguk, lalu menghela napas lega. Ia mengambil kembali camera digital-nya dan mengamati gambar-gambar yang baru diambilnya tadi. Mengira-ngira apa yang akan dilakukannya pada setiap ruangan di dalam gambar–apabila ia yang mendekornya. Imajinasi berkelebat di dalam benaknya. Dalam sekejap, keasyikannya bermain dengan imajinasi membuatnya lupa pada sekitarnya. Suara langkah kaki yang tertangkap oleh telinganya, mengusik keasyikannya. Mengingatkannya bahwa ada orang lain yang sedang bersamanya.
“Maaf, agak lama meninggalkan kamu.”
Fika bergeming. Matanya tetap terpaku pada layar kameranya seakan tidak mendengar ucapan Adit. Adit menghela napas berat, lalu kembali menyandarkan sisi tubuhnya pada railing. Diam-diam ia mengamati perempuan yang tampak tenggelam dalam keasyikannya itu. Walaupun tidak melihat, Fika dapat merasakan mata lelaki itu mengarah padanya. Tatapan yang–tanpa dikehendakinya–membuat jantungnya berdebar resah. Fika menundukkan wajahnya sedalam mungkin, berusaha menyembunyikan wajahnya yang–di luar kehendaknya–menghangat.
Suara ketukan pada pintu mengejutkan Adit dan Fika. Serentak, mereka menoleh ke pintu masuk, dan melihat seorang lelaki setengah baya berseragam berdiri di sana. Fika menghela napas lega. Untunglah, taksi pesanannya sudah datang. Ia tidak tahu, berapa lama lagi ia bisa menyembunyikan keresahannya dari pandangan Adit.
“Selamat sore, saya mencari Ibu Fika.”
Sigap, Fika menyambar tas kerjanya dan beranjak. “Iya, Pak. Saya sendiri.” Tanpa menoleh kepada Adit, apalagi berbasa-basi, ia bergegas menuruni anak tangga yang tersisa dan melangkah menyeberangi ruangan.
Adit mengantarkan Fika hingga ke tempat taksi diparkirkan. “Hubungi aku kalau kamu perlu seseuatu.”
Fika hanya mengangguk tak acuh, lalu masuk ke taksi.
“Oya, tunggu sebentar,” Adit merogoh saku celananya dan mengeluarkan serenceng kunci. “Ini kunci rumahku.”
Fika menerima kunci yang dijulurkan padanya tanpa berkata-kata, membiarkan Adit menutup pintu taksi untuknya, dan langsung menyebutkan alamatnya pada sopir taksi.
Adit memandangi taksi yang mulai melaju menjauhi tempatnya berdiri itu, hingga menghilang di belokan jalan. Adit mendesah sedih, lalu memutar tubuhnya, dan melangkah lesu menyeberangi pekarangan.
###
Wajah Fika semakin pias. Jantungnya kini berdetak cepat. Tubuhnya mulai gemetar. Ternyata lelaki ini benar-benar Adit! Lelaki yang pernah menjadi bagian dari masa remajanya itu, kini berada di hadapannya. Lelaki yang pernah begitu dicintainya, tapi tega meninggalkannya dalam ketidakberdayaan. Lelaki yang begitu ingin dilupakannya. Lelaki yang begitu ingin dibencinya. Satu-satunya manusia yang tidak ingin ditemuinya lagi–seumur hidupnya. Rupanya, harapannya tidak terkabul. Tanpa sadar Fika melangkah mundur, menjauhi Adit yang telah berdiri di hadapannya.
“Apa kabar, Fika?”
Fika menundukkan pandangannya, menatap tangan yang terjulur di hadapannya dengan pandangan kosong. Masih sulit baginya untuk memercayai kenyataan yang terhampar di depan mata. Fika meremas tali tas kerjanya dengan resah. “Baik,” gumamnya dengan suara mengambang, tanpa menyambut jabat tangan Adit.
Adit menarik kembali tangannya yang hanya tergantung canggung di udara. Ditatapnya Fika dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. “Udah lama sekali kita nggak ketemu,” katanya setelah terdiam sejenak.
Perlahan, Fika mendongak, menatap langsung ke mata lelaki di hadapannya. Hatinya mencelos saat melihat warna bola mata lelaki di hadapannya. Cokelat muda dengan lingkaran kelabu di sekelilingnya. Jantung Fika berdetak semakin cepat. Secuil keraguan yang tersisa di hatinya musnah dalam sekejap. Kini ia seratus persen yakin lelaki di hadapannya ini adalah Adit. Adit yang bukan lagi seorang remaja. Aura kedewasaan dan karismatik yang kini dimilikinya membuat lelaki itu tampak semakin tampan. Fika menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan keresahannya. Berusaha menahan nyeri yang mulai merayapi hatinya saat koreng yang tertinggal di sana mulai terkelupas–satu per satu.
Fika menarik napas dalam-dalam, berusaha keras mengendalikan diri. Berusaha menetralisir rasa terkejut yang pasti terpeta jelas pada wajahnya. Berusaha menunjukkan ketidakpedulian meski ia mengenal lelaki ini. Berusaha menunjukkan bahwa tidak ada sesuatu yang istimewa yang pernah terjadi di antara mereka di masa lalu. Berusaha menampilkan sikap tenang dan formal yang selalu ditampilkannya pada klien. Hanya satu yang tidak bisa ditampilkannya pada klien yang satu ini; keramahan.
“Jadi, kamu desainernya D'Zire?” Adit menatap Fika dengan ekspresi tak percaya.
Dengan gerakan kaku, Fika menganggukkan kepala. “Dan, kamu manager-nya Lisa?”
Kedua alis Adit terangkat. “Manager Lisa..?” Perlahan, senyum samar menghias wajahnya. “Bukan, aku... suaminya.” Adit merendahkan tatapannya, “atau, lebih tepat jika disebut calon mantan suami... Kami sedang dalam proses perceraian.”
Mata Fika kembali terbelalak. Tak percaya. Semua orang bahkan tahu, siapa Lisa–terutama para pecinta sinetron–dan betapa perempuan itu tidak suka kehidupan pribadinya menjadi santapan umum. Dan meskipun demikian, semua penduduk Indonesia pun tahu bahwa Lisa telah menikah beberapa tahun yang lalu, walaupun tidak ada yang tahu dengan siapa ia berumah tangga. Namun, siapa yang menyangka kalau suami artis terkenal itu adalah lelaki yang dikenalnya? Bahkan, lelaki yang pernah menjadi miliknya? Fika bingung saat sebuah perasaan aneh merambati hatinya. Perasaan yang tidak dipahaminya. Sebelum ia sempat menyelami perasaannya, sebuah pertanyaan melintas cepat di benaknya. Kalau rumah ini milik Lisa, lalu apa yang dilakukan Adit di tempat ini? Fika menghela napas panjang. Ah, sudahlah. Kedatangannya ke mari untuk bekerja, bukan untuk mengorek-ngorek kehidupan pribadi Adit dan artis terkenal itu. “Boleh aku melihat rumah kamu sekarang?”
Adit mengangguk sambil tersenyum canggung. Ia memutar tubuhnya dan melangkah menghampiri pagar. Membukanya, dan mempersilakan Fika masuk. Fika berjalan mendahului Adit, menyeberangi halaman yang telah tertata rapi. Mata Fika menyapu bangunan di hadapannya. Mengamati pintu dan jendela-jendela besat yang didesain secara khusus dari dekat. Semuanya terlihat alami dan menampilkan karakter kayu merbau yang kuat.
Adit mempercepat langkahnya, mendahului Fika. Ia menghampiri pintu depan dan membukanya. Tanpa menunggu dipersilakan lagi, Fika melangkah masuk. Sebuah ruang lapang dan tanpa isi langsung menyambutnya. Ternyata rumah ini tidak hanya didesain dengan cermat dari sisi luar saja, tetapi juga dalam penataan ruang, sistem pergerakan udara dan perolehan view dari dalam rumah. Penempatan innercourt dan voit di atas ruang keluarga menciptakan pertukaran udara secara maksimal. Fika menyukai apa yang dilihatnya. Rumah ini bagus, dan ia pasti akan senang mengerjakan dekornya. Sayang, ia tidak bisa meng-handle proyek ini–lebih tepatnya, tidak ingin. Sementara telinganya menangkap penjelasan Adit yang mengiringi langkahnya menelusuri setiap jengkal rumah, Fika sibuk mencari-cari alasan yang tepat untuk disampaikan pada Steve agar ia bisa mengalihkan proyek ini ke tangan interior designer lainnya.
“Sudah berapa lama kerja di D'Sire?”
“Dua tahun.”
“Kamu menyukai pekerjaanmu?”
“Begitulah,” jawab Fika tak acuh.
Adit menghela napas panjang. Rasa senang yang muncul saat mengetahui perempuan cantik ini adalah kekasih lamanya, musnah dalam sekejap. Rasa kecewa merayapi hati Adit, menyadari betapa dinging sikap Fika terhadapnya. “Menurut kamu, interior seperti apa yang paling cocok untuk rumah ini?”
Fika menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan yang tampak terang oleh cahaya matahari yang menyelinap masuk dari setiap jendela besar. Semua ruang di rumah ini didesain berskala besar dengan konsep terbuka, sehingga menciptakan komunikasi antar ruang. Beberapa ide melintas cepat di dalam benak Fika. Ide-ide yang ia yakin akan membuat rumah ini tampak semakin cantik. “Modern minimalis.” Fika menyelipkan seuntai rambut yang terlepas dari ikatannya ke belakang telinga, “Tapi aku rasa, modern minimalis nggak sesuai dengan karakter Lisa.”
“Apa urusannya dengan Lisa?”
Nada ketus di suara Adit membuat Fika terkejut. Cepat, ia menoleh pada lelaki di sisinya. Menatapnya penuh tanya.
“Bukannya ini rumah Lisa?”
“Bukan.” Adit memasukkan tangannya ke saku celananya sambil menghela napas berat. “Ini rumahku. Lisa sama sekali nggak tau soal rumah ini.” Suaranya melunak.
Sekarang Fika mengerti mengapa arsitektur bangunannya begitu jauh berbeda dengan karakter Lisa, dan mengapa Adit yang datang menemuinya. Mungkin Steve tidak tahu bahwa Adit telah berpisah dari Lisa, dan sepertinya bosnya itu mengira rumah ini masih milik keduanya.
“Jadi, kapan kamu bisa mulai mengerjakannya?”
Fika mengedikkan bahunya. “Aku harus melihat keseluruhan rumah dulu, memotret, dan mengukur.” Dengan enggan, ia membuka tas kerjanya dan mengeluarkan digital camera yang selalu dibawanya. “Tapi hari ini aku nggak bawa alat pengukur, jadi cukup mengambil beberapa gambar ruangan.”
Adit mengangguk setuju. “Kamu boleh melakukan apa saja. Semuanya aku serahkan padamu,” katanya kalem. “Bahkan, kalau ada ruangan yang ingin kamu bongkar, silakan saja. Nggak usah pikirkan soal budget.”
Hmm... tawaran yang amat menggiurkan! Jarang sekali ada klien yang memberi kebebasan penuh kepada Fika untuk memanifestasikan ide-idenya. Apalagi dengan budget tak terbatas. Kebanyakan dari mereka begitu cerewet dan ingin ikut campur. Tapi ya... memang itu hak mereka sebagai pemilik rumah dan uang. Dan sampai sejauh ini, sudah dapat dipastikan, proyek ini adalah proyek menyenangkan baginya–ia mengeluh dalam hati–dengan catatan; kalau bukan Adit kliennya. Tanpa berkata-kata lagi, Fika mulai mengambil gambar ruangan dengan digital camera-nya.
Adit mengamati Fika yang masih sibuk dengan digital camera-nya. Meski telah beberapa saat ia menemani perempuan ini berkeliling lantai dasar, namun hingga detik ini ia masih juga belum bisa memercayai penglihatannya. Fika benar-benar ada di dekatnya! Perempuan yang dicarinya bertahun-tahun yang lalu, tiba-tiba muncul di hadapannya! Adit tidak menyangka, pertemuan tak sengajanya dengan Steve–seorang teman lama saat kuliah–membawanya kepada perempuan yang amat dicintainya ini.
Adit menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu guestroom. Matanya menjelajahi sosok ramping di dalam ruangan, yang sedang asyik dengan kameranya itu, dengan tatapan penuh kerinduan. Napas Adit tertahan di tenggorok saat melihat jari lentik Fika menyelipkan seuntai rambut ke balik telinga. Jari-jari indah yang dulu sering digenggamnya. Rambut indah yang dulu sering dibelainya. Fika tampak begitu cantik dalam keanggunan dan kedewasaannya. Lebih cantik daripada yang diingatnya. Ya, ia tidak pernah bisa melupakan mata bulat yang jernih dengan bulu mata yang panjang dan lentik itu, hidung yang mancung itu, bibir yang berlekuk sempurna bagai busur panah itu, dan dagu yang lancip itu. Segala sesuatu yang amat disukainya dan amat dirindukannya dari perempuan ini. Adit menelan ludah, membasahi tenggoroknya yang terasa kering. “Kamu menyukai pekerjaanmu?”
“Menurutmu?”
Adit tersenyum canggung. “Dari dulu aku sudah menduga, suatu hari nanti kamu akan bekerja di bidang seni–entah sebagai pelukis, atau di bidang kreatif.” Adit mencoba mengabaikan sikap dingin Fika. “Bahkan, sampai sekarang pun aku masih ingat sketsa-sketsa yang kamu buat. Kamu memang berbakat.”
Ucapan Adit membuat darah Fika membeku. Ia tidak mengerti untuk apa Adit mengingatkannya pada kejadian yang telah lama berlalu? Apakah lelaki ini ingin mengulang kembali kebersamaan mereka dulu? Fika tersenyum sinis. Tidak. Itu tidak akan terjadi. Baginya, Adit adalah masa lalu. Dan, akan tetap begitu. Selamanya. “Aku nggak ingat soal itu,” jawabnya dingin. Bahkan tanpa mau susah payah mengalihkan pandangannya kepada Adit.
Adit tertegun mendengar sinisme yang tersirat pada suara Fika. Rasa kecewa semakin pekat menyelimutinya. Fika bersikap seakan dirinya tidak pernah menjadi bagian istimewa dalam hidup perempuan itu. Bahkan seakan tidak pernah mengenalnya. Sikap perempuan ini membuat dirinya merasa tak berarti. Merasa terbuang. Apakah Fika begitu sakit hati atas kebodohannya di masa lalu? Begitu besarkah kebencian Fika padanya? Adit menundukkan kepala, dan mendesah pelan. Ia tidak akan menyalahkan Fika jika perempuan itu membencinya. Semua memang kesalahannya.
Dari balik bulu matanya, Adit melihat Fika kembali bergerak. Perempuan itu melangkah mendekati pintu. Adit memiringkan tubuhnya, memberi ruang kepada Fika untuk lewat. Namun, ternyata ruang yang diberikannya tidak cukup luas, hingga tangan perempuan itu menggesek perutnya. Bibir Adit mengering seketika. Sentuhan itu sangat ringan,tetapi mampu menimbulkan getar samar di seluruh tubuhnya. Adit menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan diri, lalu kembali membuntuti Fika ke beranda belakang.
Diam-diam, Adit kembali menelurusi jari-jari panjang dan lentik Fika dengan matanya. Mencari benda bulat yang melingkari jari manis perempuan. Sebersit harapan muncul saat ia tidak menemukan cincin nikah di jari-jari indah perempuan itu. Tetapi, apa mungkin perempuan secantik Fika belum menikah? Atau, mungkin bernasib sama dengannya–sudah bercerai? Atau mungkin ia tidak suka mengenakan cincin nikahnya? Tapi, apakah dengan seperti itu suaminya tidak merasa cemas? Bukankah itu bagaikan umpan yang memancing para lelaki untuk mendekati istrinya? Ya, Tuhan. Begitu banyak pertanyaan yang ingin diajukannya. Semuanya sudah berkumpul di benaknya, berdesak-desakan. Namun, mengingat sikap dingin Fika, ia terpaksa menahan diri. Sepertinya ini bukan saat yang tepat. Mungkin–sama sepertinya–Fika pun masih amat terkejut dengan pertemuan yang tak terduga ini. Mungkin saat ini, perempuan itu ingin melampiaskan kemarahannya padanya. Kemarahan yang pasti sudah dipendamnya selama belasan tahun. Yah, ia bisa menerima sikap Fika, apa pun itu. Ia bisa mengerti. Apa yang dilakukannya dulu pasti amat menyakitkan perempuan itu. Amat melukainya. Tetapi, ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Adit berharap, suatu saat nanti, Fika mau mendengarkannya. Dan, mau memaafkannya.
Fika dapat merasakan mata Adit terus mengawasi semua geraknya. Dipandanginya diamkdiam oleh seorang lelaki, bukan hal baru bagi Fika. Banyak klien lelaki yang bersikap seperti itu.
Namun, kali ini berbeda. Tatapan lelaki itu membuatnya sulit untuk tetap bersikap tenang dan tak peduli. Mau tak mau hal ini sangat mengejutkannya. Tiga belas tahun sudah ia tidak bertemu Adit, tetapi ia tak menyangka lelaki ini masih memiliki pengaruh yang begitu kuat atas dirinya. Masih sanggup membuat jantungnya berdebar resah.
Fika menarik napas dalam-dalam untuk mengendalikan dirinya. Sebaiknya ia segera mengalihkan proyek ini pada rekan kerjanya yang lain. Ia tidak sanggup meneruskannya. Ia takut.... Takut tak dapat menguasai diri. Takut dinding yang melindungi hatinya roboh. Ia tidak ingin jatuh cinta lagi pada lelaki ini. Lelaki yang membuat hidupnya menderita, dan telah membuatnya tak percaya lagi pada cinta. Fika menurunkan digital camera-nya, menyelipkan seuntai rambut ke belakang telinganya, lalu mengalihkan pandangannya pada Adit. “Boleh lihat lantai dua?”
Adit mengangguk.
Fika menghampiri tangga yang dikonsep melayang hingga menciptakan garis lebih tegas dalam ruang. Tangga itu didukung dengan bahan kayu di atas balutan warna putih pada bagian struktur pijakan. Karena ingin menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin, terlalu sibuk mengendalikan rasa gugupnya, dan terburu-buru ingin menyelesaikan pekerjaannya, Fika jadi kurang berhati-hati. Hak sepatunya terpeleset. Ia limbung. Tubuhnya kehilangan keseimbangan. Dengan panik, Fika berusaha menggapai railing, tetapi kedua tangannya–yang sibuk memegang tas kerja dan digital camera–membuatnya tidak bisa menggapai railing. Ia tidak bisa menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Dalam keadaan semakin panih, Fika merasakan sepasang tangan besar dan kokoh menahan tubuhnya. Memegangi kedua pinggangnya dengan erat. Tangan Adit! Jantung Fika berdentam semakin liar. Terkejut oleh reaksi yang muncul saat merasakan tangan lelaki itu di tubuhnya, dan malu... membuat wajah Fika menghangat. “Makasih,” gumamnya, tanpa berani menoleh.
“Mau aku bantu membawakan tas kerjamu?” Adit menawarkan dengan hati-hati.
“Nggak,” jawab Fika, lebih ketus daripada yang dikehendakinya.
Adit tidak berkata-kata lagi. Diikutinya Fika dalam diam.
Di lantai atas, lagi-lagi Fika mendapati ruangan luas yang bisa dijadikan tempat alternatid berkumpul dengan keluarga. Ruangan ini dilengkapi dengan bukaan, jendela-jendela lebar, serta teras, sehingga membuat ruangan tampak terang dan sehat berkat sirkulasi udara yang lancar. Tidak ingin membuang waktu, Fika meletakkan tas kerjanya di lantai, dan mulai membidikkan kameranya, tanpa bicara sepatah kata pun. Usai memotret kamar tidur utama, Fika menghela napas panjang. “Selesai,” katanya dengan lega.
“Hmm..., Fika,” Adit melirik Fika dengan canggung. “Kamu udah makan siang?” Jantungnya berdebar penuh harap. “Nggak jauh dari sini ada restoran yang enak dan nyaman.”
“Makasih.” tukas Fika sambil memasukkan digital camera-nya ke tas kerja. “Aku harus segera pulang.”
“Mau aku antar?” tanya Adit setelah terdiam sejenak.
“Nggak usah repot-repot,” tolak Fika cepat. Ia mengeluarkan ponselnya dan men-dial perusahaan taksi langganannya sebelum Adit memaksanya untuk menerima tawarannya. “Aku bisa memesan taksi.”
Rasa kecewanya menggumpal, hingga menyesakkan dada Adit. Tanpa berkata-kata lagi, ia memutar tubuhnya, dan mendahului Fika turun ke lantai bawah.
Fika menjauhkan ponsel dari telinganya dengan gelisah. Operator perusahaan taksi sudah mengatakan akan segera mengirim taksi untuk menjemputnya. Namun, Fika tahu, tidak mungkin taksi itu akan muncul dalam sepuluh menit. Fika mendesah resah. Seandainya saja mobilnya tidak ngadat lagi dan tidak harus menginap di bengkel, tentu ia dapat secepatnya pergi dari tempat ini. Dalam hati, Fika memaki kebodohannya. Seandainya ia sudah memesan taksi sejak setengah jam yang lalu, tentu ia tidak perlu terjebak lebih lama dengan lelaki ini. Dengan setengah putus asa, Fika meletakkan tas kerjanya pada anak tangga ketiga dari bawah, lalu mengempaskan tubuhnya.
“Oya, Fik,” Adit menyandarkan sisi tubuhnya pada railing, menghadap Fika. “Aku bisa minta tolong?”
Fika mendongak, menatap Adit dengan mata menyipit. Penuh antisipasi. “Apa?”
“Kamu bisa mengerjakan kamar tidur utama dulu?”
Fika menatap Adit dengan pandangan aneh. Permintaan Adit bukan masalah besar baginya. Namun, pasti ada sesuatu yang membuat lelaki ini memintanya mengerjakan kamar tidur utama terlebih dulu. “Kenapa?”
Adit mengangkat bahunya. “Aku nggak betah tinggal di hotel.”
Kedua alis Fika terangkat. “Di hotel...?”
Adit mengangguk sambil tersenyum canggung. “Aku memberikan rumah yang dulu–yang aku tempati bersama Lisa–padanya.”
“Harta gono-gini,” gumam Fika tanpa sadar, dan langsung menyesalinya.
Hening. Canggung.
Tanpa berkata-kata lagi, Fika menunduk dan mulai mengutak-atik ponselnya. Berpura-pura sibuk agar dapat menghindari pembicaraan mengenai kehidupan pribadi Adit. Ia sama sekali tidak ingin tahu apa yang terjadi pada pernikahan Adit, bahkan tidak peduli. Dan menghindari...
“Bagaimana dengan kamu, Fika? Udah berapa buntutmu?”
Fika mengeluh dalam hati. Ini dia yang ingin dihindarinya. Ia tidak ingin lelaki ini bertanya-tanya tentang kehidupan pribadinya. Fika mempertimbangkan sejenak, perlu tidaknya memberitahu lelaki ini. Mengingat bosnya adalah teman baik Adit, Fika memutuskan untuk mengatakannya saja. Bukan karena ia yakin Adit akan mengorek-ngorek kehidupan pribadinya dari Steve, ia hanya sekedar berjaga-jaga. Bagaimanapun juga, ketahuan berbohong hanya akan membuatnya malu. “Satu,” jawabnya tanpa menatap Adit.
“Perempuan? Laki-laki?”
Kening Fika berkerut saat menangkap nada antusias pada suara lelaki itu. “Perempuan.”
“Aku selalu ingin punya anak perempuan.” Adit menghela napas berat. “Sayang, Lisa nggak suka anak kecil.” Suaranya sarat kesedihan dan kekecewaan.
Seluruh darah yang mengaliri tubuh Fika seakan membeku. Ia menundukkan wajahnya semakin dalam. Berusaha membunyikan keresahannya dari pandangan Adit. Untunglah sebelum lelaki itu sempat bertanya-tanya lagi, ponselnya berdering.
Adit merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya, dan melirik sekilas layarnya. “Bentar ya, Fika.” Ia melangkah menjauhi Fika.
Fika mengangguk, lalu menghela napas lega. Ia mengambil kembali camera digital-nya dan mengamati gambar-gambar yang baru diambilnya tadi. Mengira-ngira apa yang akan dilakukannya pada setiap ruangan di dalam gambar–apabila ia yang mendekornya. Imajinasi berkelebat di dalam benaknya. Dalam sekejap, keasyikannya bermain dengan imajinasi membuatnya lupa pada sekitarnya. Suara langkah kaki yang tertangkap oleh telinganya, mengusik keasyikannya. Mengingatkannya bahwa ada orang lain yang sedang bersamanya.
“Maaf, agak lama meninggalkan kamu.”
Fika bergeming. Matanya tetap terpaku pada layar kameranya seakan tidak mendengar ucapan Adit. Adit menghela napas berat, lalu kembali menyandarkan sisi tubuhnya pada railing. Diam-diam ia mengamati perempuan yang tampak tenggelam dalam keasyikannya itu. Walaupun tidak melihat, Fika dapat merasakan mata lelaki itu mengarah padanya. Tatapan yang–tanpa dikehendakinya–membuat jantungnya berdebar resah. Fika menundukkan wajahnya sedalam mungkin, berusaha menyembunyikan wajahnya yang–di luar kehendaknya–menghangat.
Suara ketukan pada pintu mengejutkan Adit dan Fika. Serentak, mereka menoleh ke pintu masuk, dan melihat seorang lelaki setengah baya berseragam berdiri di sana. Fika menghela napas lega. Untunglah, taksi pesanannya sudah datang. Ia tidak tahu, berapa lama lagi ia bisa menyembunyikan keresahannya dari pandangan Adit.
“Selamat sore, saya mencari Ibu Fika.”
Sigap, Fika menyambar tas kerjanya dan beranjak. “Iya, Pak. Saya sendiri.” Tanpa menoleh kepada Adit, apalagi berbasa-basi, ia bergegas menuruni anak tangga yang tersisa dan melangkah menyeberangi ruangan.
Adit mengantarkan Fika hingga ke tempat taksi diparkirkan. “Hubungi aku kalau kamu perlu seseuatu.”
Fika hanya mengangguk tak acuh, lalu masuk ke taksi.
“Oya, tunggu sebentar,” Adit merogoh saku celananya dan mengeluarkan serenceng kunci. “Ini kunci rumahku.”
Fika menerima kunci yang dijulurkan padanya tanpa berkata-kata, membiarkan Adit menutup pintu taksi untuknya, dan langsung menyebutkan alamatnya pada sopir taksi.
Adit memandangi taksi yang mulai melaju menjauhi tempatnya berdiri itu, hingga menghilang di belokan jalan. Adit mendesah sedih, lalu memutar tubuhnya, dan melangkah lesu menyeberangi pekarangan.
###
Langganan:
Postingan (Atom)